KATA PENGANTAR
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata ‘ala telah mewahyukan Islam sebagai ajaran yang haq dan sempurna untuk mengatur umat manusia berkehidupan sesuai dengan fitrahnya sebagai khalifah di muka bumi dengan kewajiban mengabdikan diri semata-mata kehadirat-Nya.
Menurut iradat Allah Subhanahu Wata ‘ala kehidupan yang sesuai dengan fitrah-Nya adalah panduan utuh antara aspek duniawi dan ukhrawi, individu dan sosial serta iman, ilmu, dan amal dalam mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Tak lupa shalawat serta salam marilah kita curahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW. Yang telah membawa umatnya dari jaman kegelapan menuju jaman terang benderang seperti saat ini
Saya menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kesalahan atau kekurangan dan kehilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca saya mengharapkan saran dan keritiknya demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini benar-benar bermanfaat bagi para pembaca khususnya bagi saya, masyarakat mahasiswa pada umumnya.
Serang, 13 Desember 2011.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN MUHAMAD NATASIR
1. Sosok Mohamad Natasir
2. Pemikiran Pendidikan Muhamad Natsir
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Agama Islam pernah berjaya dalam membentuk peradaban maanusia pada era Rasulullah SAW. Kepemimpinan Rasulullah yang sukses dalam membangun peradaban Islam hanya dalam 23 tahun masa kenabiannuya itu mengilhami sejumlah tokoh Islam membangun kembali pearadaban mulya tersebut. Para pemikir dan tokoh Islam muncul penuh gagasan dalam upaya "membumikan kembali pesan-pesan langit" yang telah lama tidak berperan membentuk pearadaban dunia. Era kejayaan Islam tenggelam cukup lama. Kehidupan keagamaan Islam seolah mengikuti dinamika keagamaan Kristen yang amat resistensi atas berbagai penemuan ilmu pengetahuan dan cenderung sekuler. Dewasa ini Islam yang rahmatan lil alamin seakan sebatas jargon, tak diwujudnyatakan sebagaimana era keemasan Islam dibawah panji-panji syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Di Indonesia pengembangan pemikiran pendidikan pada mulanya tidak terlepas dari wacama dikotomik antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Para tokoh Islam yang menaruh perhatian pada pengembangan pemikiran pendidikan di Indonesia umumnya juga berangkat dari kegelisahan dikotomik tersebut. Kepedulian para pembaharu pemikiran Islam atas keterpurukan Umat Islam disampaikan dalam bentuk reaktualisasi pemikiran pemahaman keagamaan/keislaman termasuk pemahaman warga masyarakat tentang pendidikan yang kala itu sangat dikotomik dan telah menjadi mainstream.
Para tokoh yang tersadarkan dengan kondisi Umat yang memprihatinkan berupaya menelaah faktor-faktor penyebab keterbelakangan Umat Islam yang sebenarnya dahulu kala pernah menjadi acuan bagi peradaban dunia. Intinya, para tokoh meyakini bahwa dengan merubah paradigma pemahaman keagamaan Umat akan mampu menghasilkan kebaikan-kebaikan yang sangat diperlukan dalam mengatasi keterbelakangan. Pendidikan merupakan kunci menuju peradaban manusia yang berkualitas.
Paling tidak terdapat dua tokoh yang turut andil dalam perubahan ide, wawasan dan konsepsi tentang pendidikan. Melalui berbagai kegiatan/pendekatan politik dan kultural di Indonesia keduanya berhasil secara signifikan dalam merubah wajah dan sistem (manajemen) pendidikan khususnya pada cakupan kurikulum pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan Islam. Pokok-pokok pemikiran kedua tokoh ini akhirnya menginspirasi dinamika pendidikan di Indonesia hingga kini.
BAB II
PEMBAHASAN
MOHAMAD NATASIR
1. SOSOK MOHAMAD NATASIR
Mohammad Natasir adalah seorang tokoh kunci dan pejuang yang gigih mempertahankan negara kesatuan RI, yang sekarang menjadi pembicaraan hangat karena melemahnya rasa kesatuan bangsa sebagai akibat reformasi yang kebablasan. Berkali-kali dia menyelamatkan Republik dari ancaman perpecahan. pada tahun 1949 berhasil membujuk Syafruddin Prawiranegara, yang bersama Sudirman merasa tersinggung dengan perundingan Rum-Royen, untuk kembali ke Jogya dan menyerahkan pemerintahan kembali kepada Sukarno Hatta. Dia jugalah kemudian yang berhasil melunakkan tokoh Aceh, Daud Beureuh yang menolak bergabung dengan Sumatera Utara pada tahun 1950, terutama karena keyakinan Daud Beureuh akan kesalehan Natasir, sikap pribadi yang tetap dipegang teguh sampai akhir hayatnya.”[1]
Natasir juga seorang tokoh pendidik, pembela rakyat kecil dan negarawan terkemuka di Indonesia pada abad kedua puluh. Kemudian ketika kegiatan politiknya dihambat oleh penguasa, dia berjuang melalui dakwah dengan membentuk Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dimana dia berkiprah sampai akhir hayatnya membangun masyarakat di kota-kota dan pedalaman terpencil.
Natasir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natasir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau.
Natasir pada mulanya sekolah di Sekolah Dasar pemerintah di Maninjau, kemudian HIS pemerintah di Solok, HIS Adabiyah di Padang, HIS Solok dan kembali HIS pemerintah di Padang. Natasir kemudian meneruskan studinya di Mulo Padang, seterusnya AMS A 2 (SMA jurusan Sastra Barat) di Bandung. Walaupun akan mendapatkan beasiswa seperti di Mulo dan AMS untuk belajar di Fakultas Hukum di Jakarta atau Fakultas Ekonomi di Rotterdam, dia tidak melanjutkan studinya dan lebih tertarik pada perjuangan Islam.
Pendidikan agama mulanya diperoleh dari orang tuanya, kemudian ia masuk Madrasah Diniyah di Solok pada sore hari dan belajar mengaji Al Qur’an pada malam hari di surau. Pengetahuan agamanya bertambah dalam di Bandung ketika dia berguru kepada ustaz Abbas Hasan, tokoh Persatuan Islam di Bandung. Kepribadian A Hasan dan tokoh-tokoh lainnya yang hidup sederhana, rapi dalam bekerja, alim dan tajam argumentasinya dan berani mengemukakan pendapat tampaknya cukup berpengaruh pada kepribadian Natasir kemudian.
Natasir mendalami Islam, bukan hanya mengenai teologi (tauhid), ilmu fiqih (syari’ah), tafsir dan hadis semata, tetapi juga filsafat, sejarah, kebudayaan dan politik Islam. Di samping itu ia juga belajar dari H. Agus Salim, Syekh Ahmad Soorkati, HOS Cokroaminoto dan A.M. Sangaji, tokoh-tokoh Islam terkemuka pada waktu itu, beberapa di antaranya adalah tokoh pembaharu Islam yang mengikuti pemikiran Mohammad Abduh di Mesir. Pengalaman ini semua memperkokoh keyakinan Natasir untuk berjuang dalam menegakkan agama Islam.”[2]
Pengalaman organisasinya mulai ketika dia masuk Jong Islamieten Bond (JIB) di Padang. Di Bandung dia menjadi wakil ketua JIB pada 1929-1932, menjadi ketua Partai Islam Indonesia cabang Bandung, dan pada tahun empat puluhan menjadi anggota Majlis Islam Indonesia (MIAI), cikal bakal partai Islam Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) yang kemudian dipimpinnya. Dan Ia menjalin hubungan dengan tokoh politik seperti Wiwoho yang terkenal dengan mosinyaIndonesia Berparlemen kepada pemerintah Belanda, dengan Sukarno, dan tokoh politik Islam lainnya yang kemudian menjadi tokoh Masyumi, seperti Kasman Singodimejo, Yusuf Wibisono dan Mohammad Roem. Berbeda dengan tokoh pergerakan lainnya, sejak semula Natasir juga bergerak di bidang dakwah untuk membina kader. Pada mulanya ia aktif dalam pendidikan agama di Bandung, kemudian mendirikan lembaga Pendidikan Islam (Pendis) yang mengasuh sekolah dari TK, HIS, Mulo dan Kweekschool yang dipimpinnya 1932-1942.”[3]
Di samping itu ia rajin menulis artikel di majalah terkemuka, seperti Panji Islam, Al Manar, Pembela Islam dan Pedoman Masyarakat. Dalam tulisannya dia membela dan mempertahankan Islam dari serangan kaum nasionalis yang kurang mengerti Islam seperti Ir. Sukarno dan Dr. Sutomo. Khusus dengan Sukarno, Natasir terlibat polemik hebat dan panjang antara tahun 1936-1940an tentang bentuk dan dasar negara Indonesia yang akan didirikan. Natasir menolak ide sekularisasi dan westernisasi ala Turki di bawah Kemal Attaturk dan mempertahankan ide kesatuan agama dan negara. Tulisan-tulisannya yang mengeritik pandangan nasionalis sekuler Sukarno ini kemudian dibukukan bersama tulisan lainnya dalam dua jilid buku Capita Selecta.
Kegiatan politik Natasir menonjol sesudah dibukanya kesempatan mendirikan partai politik pada bulan November 1945. Bersama tokoh-tokoh Islam lainnya seperti Sukiman dan Roem, dia mendirikan partai Islam Masyumi, menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Badan Pekerja KNIP. Dalam kabinet Syahrir I dan II (1946-1947) dan dalam kabinet Hatta 1948 Natasir ditujuk sebagai Menteri Penerangan. Sebagai menteri, tanpa rasa rendah diri dia menerima tamunya di kantor menteri dengan pakaian amat sederhana, ditambal, sebagaimana ditulis kemudian oleh Prof. George Kahin, seorang ahli sejarah Indonesia berkebangsaan Amerika yang waktu itu mengunjunginya di Yogya. Ketika terbentuknya negara RIS sebagai hasil perjanjian KMB pada akhir Desember 1949, Natasir memelopori kembali ke negara kesatuan RI dengan mengajukan Mosi Integral kepada parlemen RIS pada tanggal 3 April 1950. Bersama dengan Hatta yang juga menjabat sebagai Perdana Menteri RIS, ide ini tercapai dengan dibentuknya negara kesatuan RI pada 17 Agustus 1950. Mungkin atas jasanya itu, Natasir ditunjuk sebagai Perdana Menteri oleh Sukarno, atau juga karena pengaruhnya yang besar, sebagaimana kemudian terlihat dari hasil Pemilu 1955.”[4]
Tidaklah mudah menjadi Perdana Menteri dalam keadaan sulit ketika itu. Hampir di semua daerah terdapat perasaan bergalau akibat perang yang menimbulkan rasa ketidak-puasan di mana-mana. Beberapa tokoh yang selama ini berjuang untuk Republik berontak, seperti Kartosuwiryo dan kemudian Kahar Muzakkar. Pengikut RMS dan Andi Azis yang berontak kepada Hatta masih belum tertangani. MMC (Merapi Merbabu Complex) yang beraliran komunis berontak di Jawa Tengah. Daud Beureuh menolak menggabungkan Aceh ke dalam propinsi Sumatera Utara.Walaupun kemudian Natasir pada bulan Januari 1951 berhasil membujuk Daud Beureuh yang sengaja berkunjung ke Aceh sesudah Assaat dan Syafruddin gagal meyakinkannya, namun Daud Beureuh meninggalkan pemerintahan dan pulang kekampungnya di Pidie. Dengan berat hati Natasir terpaksa membekukan DPR Sumatera Tengah dan mengangkat gubernur Ruslan Mulyoharjo sebagai gubernur. Dalam waktunya yang pendek (September 1950-April 51) Natasir membawa RI dari suasana revolusi ke suasana tertib sipil dan meletakkan dasar politik demokrasi dengan menghadapi bermacam kendala, termasuk perbedaan pendapat dengan Sukarno dan partainya PNI.”[5]
Sesudah meletakkan jabatannya di pemerintahan, Natasir aktif dalam perjuangan membangun bangsa melalui partai dan menjadi anggota parlemen. Pada pemilihan umum 1955 Partai Islam Masyumi yang dipimpinnya mendapat suara kedua terbanyak sesudah PNI walaupun memperoleh kursi yang sama dengan PNI. Pada sidang-sidang konstituante antara 1956-1957 dengan gigih dia mempertahankan pendiriannya untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Sebelum sidang konstituante ini berhasil menetapkan Anggaran Dasar Negara, Sukarno memaklumkan kembali ke UUD 1945 dan membubarkan parlemen serta konstituante hasil pemilu (melalui Dekrit 5 juli 1959 –FF). Natasir menjadi penantang ide dan politik Sukarno yang gigih dan teguh.
Penantangannya kepada Sukarno terutama karena Sukarno kemudian berubah menjadi pemimpin yang otoriter dan menggenggam kekuasaan di tangannya sendiri dengan bekerjasama dengan Partai Komunis Indonesia dan partai lain yang mau menuruti kemauan Sukarno. Bukan saja Natasir, Hatta pun malah juga terdesak. Hatta meletakkan jabatannya sebagai usaha mengembalikan presiden Sukarno ke jalur yang benar, tapi hal itu malah makin membuat Sukarno leluasa. Natasir makin terjepit karena pengaruh PKI yang anti Islam.
Pergolakan politik akibat perebutan hegemoni Islam dan non Islam yang mencuat secara demokratis di parlemen diikuti pula oleh kekisruhan ekonomi dan politik secara tidak terkontrol di luar parlemen. Hal ini berujung dengan munculnya kegiatan kedaerahan yang berpuncak pada pemberontakan daerah dan PRRI pada tahun 1958. Natasir yang dimusuhi Sukarno bersama Sjafruddin Prawiranegara dan Burhanuddin Harahap melarikan diri dari Jakarta dan ikut terlibat dalam gerakan itu. Karena itu partai Masyumi dan PSI Syahrir dipaksa membubarkan diri oleh Sukarno.
Ketika PRRI berakhir dengan pemberian amnesti, Natasir bersama tokoh lainnya kembali, namun kemudian ia dikarantina di Batu, Jawa Timur (1960-62), kemudian di Rumah Tahanan Militer Jakarta sampai dibebaskan oleh pemerintahan Suharto tahun 1966. Ia dibebaskan tanpa pengadilan dan satu tuduhanpun kepadanya. Walaupun tidak lagi dipakai secara formal, Natasir tetap mempunyai pengaruh dan menyumbang bagi kepentingan bangsa, misalnya ikut membantu pemulihan hubungan Indonesia dengan Malaysia. Melalui hubungan baiknya, Natasir menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Malaysia Tungku Abdul Rahman guna mengakhiri konfrontasi Indonesia-Malaysia yang kemudian segera terwujud.”[6]
Karena tidak mungkin lagi terjun ke politik, Natasir mengalihkan kegiatannya, berdakwah melalui perbuatan nyata dalam memperbaiki kehidupan masyarakat. Pada tahun 1967 dia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia yang aktif dalam gerakan amal. Lembaga ini dengan Natasir sebagai tokoh sentral, aktif berdakwah bukan saja kepada masyarakat dan para mahasiswa di Jakarta dan kota lainnya, tapi juga di daerah terasing, membantu pendirian rumah sakit Islam dan pembangunan mesjid, dan mengirim mahasiswa tugas belajar mendalami Islam di Timur Tengah. Bahkan di antara mahasiswa ini kemudian menjadi tokoh nasional yang religius seperti Amien Rais Yusril Ihza Mahendra, dan Nurchalis Majid, di antara beberapa tokoh penggerak orde reformasi yang mengganti orde Suharto.
Kegiatan dakwahnya ini telah menyebabkan hubungannya dengan masyarakat luas tetap terpelihara, hidup terus sebagai pemimpin informal. Kegiatan ini juga membawa Natasir menjadi tokoh Islam terkenal di dunia internasional dengan menjadi Wakil Presiden Kongres Islam se dunia (Muktamar Alam Islami) yang berkedudukan di Karachi (1967)dan anggota Rabithah Alam Islami (1969) dan anggota pendiri Dewan Masjid se Dunia (1976) yang berkedudukan di Mekkah. Di samping bantuan para simpatisannya di dalam negeri, badan-badan dunia ini kemudian banyak membantu gerakan amal DDII, termasuk pembangunan Rumah Sakit Islam di beberapa tempat di Indonesia. Pada tahun 1987 Natasir menjadi anggota Dewan Pendiri The Oxford Center for Islamic Studies, London. Namun kebebasannya hilang kembali karena ia ikut terlibat dalam kelompok petisi 50 yang mengeritik Suharto pada tahun 1980. Ia dicekal dalam semua kegiatan, termasuk bepergian ke luar negeri. Sejak itu Natasir aktif mengendalikan kegiatan dakwah di kantor Dewan Dakwah Salemba Jakarta yang sekalian berfungsi sebagai masjid dan pusat kegiatan diskusi, serta terus menerus menerima tamu mengenai kegiatan Islam.
Atas segala jasa dan kegiatannya pada tahun 1957 Natasir memperoleh bintang kehormatan dari Republik Tunisia untuk perjuangannya membantu kemerdekaaan Negara-negara Islam di Afrika Utara. Tahun 1967 dia mendapat gelar Doktor HC dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam, menerima Faisal Award dari kerajaan Saudi Arabia pada tahun 1980 untuk pengabdiannya pada Islam dan Dr HC dari Universitas Sains dan Teknologi Malaysia pada tahun 1991 dalam bidang pemikiran Islam.”[7]
Pada tanggal 7 Februari 1993 Natasir meninggal dunia di Jakarta dan dikuburkan di TPU Karet, Tanah Abang. Ucapan belasungkawa datang tidak saja dari simpatisannya di dalam negeri yang sebagian ikut mengantar jenazahnya ke pembaringan terakhir, tapi juga dari luar negeri, termasuk mantan Perdana Menteri Jepang, Takeo Fukuda yang mengirim surat duka kepada keluarga almarhum dan bangsa Indonesia. Walaupun telah tiada, buah karya dan pemikirannya dapat dibaca dari puluhan tulisannya yang sudah beredar, mulai dari bidang politik, agama dan sosial, di samping lembaga-lembaga amal yang didirikannya. Perkawinannya dengan Nur Nahar, aktifis JIB pada tahun 1934 di Bandung telah memberinya enam orang anak.
2. Pemikiran Pendidikan Muhamad Natsir
Cendekiawan Muslim Indonesia yang lebih dikenal sebagai tokoh politik Masyumi dan Mantan Perdana Menteri RI adalah M. Natsir. Diungkapkan oleh Abuddin Nata, (2005 : 81-94) bahwa pokok-pokok pemikiraan pendidikan M. Natsir adalah sebagai berikut”[8]:
Pertama. Tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
1. Pendidikan harus berperan sebagai sarana membimbing manusia agar dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna,
2. Pendidikan diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat-sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak yang sempurna.
3. Pendidikan harus berperan sebagai sarana menghasilkan menusia jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
4. Pendidikan agar berperan membawa manusia mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
5. Pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilakunya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam,
6. Pendidikan harus benar-benar dapat meningkatkan sifat-sifat kemanusiaan bukan sebaliknya meniadakan atau berperilaku menyesatkan yang dapat merugikan orang lain dan lingkungan.
Kedua. Tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku Islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan naisonal yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya. Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi-nabi Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib kerabatya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terbatas dananya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana menimpa.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari-hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesame manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.
Ketiga. Tentang dasar pendidikan. Dalam tulisan yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik-baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari-hari tak pernah tercela.
Keempat. Tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. M. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 berjudul "Tauhid sebagai dasar Pendidikan", menggariskan ideologi pendidikan umat Islam bertitik tolak & berorientasi pada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.
Kelima. Tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Menurut Natsir, bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat-sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa sendiri menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah-langkah antara lain .
1. Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2. Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3. Negara-Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.
Keenam. Tentang keteladanan guru. Menurut Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa. Pernyataan ini diajukan, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menurun. Minat lulusan terbaik dari sekolah menengah untuk menjadi guru sampai sekarang masih tampak dikarenakan perhatian terhadap lembaga pendidikan guru memang belum memadai.
Sistem pendidikan Belanda memang dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi yang dibutuhkan masyarakat.
Tampaknya, gagasan dan pemikiran M. Natsir relevan dalam tinjauan perkembangan pendidikan dewasa ini disebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. M. Natsir adalah tokoh nasional dan internasional yang memiliki integritas pribadi dan komitmen yang kuat untuk memajukan bangsa dan Negara
2. M. Natsir selain sebagai seorang negarawan yang handal, ia juga termasuk pemikir dan arsitek pendidikan Islam yang serius.
3. sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir selain menulis karya ilmiah yang berisikan gagasan dan pemikiran tentang pembaharuan dan kemajuan pendidikan Islam, ia juga sebagai praktisi dan pelaku pendidikan yang terbukti cukup berhasil.
4. Sebagai pemikir dan arsitek pendidikan, Natsir melihat bahwa masalah pokok untuk mengatasi keterbelakangan dalam pendidikan terletak pada tiga hal:
1) Dengan merombak sistem yang dikotomis ke sistem yang integrated antara ilmu agama dan umum,
2) Dengan merombak kurikulum dari kurikulum yang dikotomis menjadi integrated, dan
3) Dengan mempersiapkan guru yang komitmen dan dapat menjadi teladan bagi peserta didik.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Natasir dilahirkan di Alahan Panjang, Solok pada tanggal 17 Juli 1908. Kedua orang tuanya berasal dari Maninjau. Ayahnya Idris Sutan Saripado adalah pegawai pemerintah dan pernah menjadi Asisten Demang di Bonjol. Natasir adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Dia kemudian diangkat menjadi penghulu atau kepala suku Piliang dengan gelar Datuk Sinaro Panjang di Pasar Maninjau.
Sudah lebih dari setengah abad lalu Pak Natsir mengingatkan bahwa demokrasi sekuler dapat berujung pada berbagai musibah kemanusiaan. Tanpa intervensi wahyu, manusia dapat terperangkap pada dorongan nafsu hewaniah dan meluncur ke arah anarki, chaos atau faudhau. Pak Natsir amat memahami teori dan praktek demokrasi, tetapi sekaligus melihat dengan jernih keterbatasannya. Theodemokrasi adalah demokrasi yang dibimbing oleh kebenaran wahyu.
Mohammad Natsir hidup ketika persahabatan lintas ideologi bukan hal yang patut dicurigai, bukan suatu pengkhianatan. Natsir pada dasarnya antikomunis. Bahkan keterlibatannya kemudian dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), antara lain, disebabkan oleh kegusaran pada pemerintah Soekarno yang dinilainya semakin dekat dengan Partai Komunis Indonesia. Masyumi dan PKI, dua yang tidak mungkin bertemu. Tapi Natsir tahu politik identitas tidak di atas segalanya. Ia biasa minum kopi bersama D.N. Aidit di kantin gedung parlemen, meskipun Aidit menjabat Ketua Central Committee PKI ketika itu.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1993)
- Ajib Rosidi, M. Nasir, Sebuah Biografi, (Jakarta : Girimukti Pasaka, 1990)
- Anwar Harjono, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Nasir, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996)
- Lukman Harun, “Hari-Hari Terakhir PDRI” dalam Endang Saifuddin Anshari dan Amin Rais, Pak Nasir 80 Tahun, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, (Jakarta : Media Dakwah, 1988)
- Mohamad Nasir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, (Jakarta : Media Dakwah, 1987)
- Tohir Luth, M.Nasir, Dakwah dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 1999)
- Aries Musnandar Pemikiran M. Natsir dan A. Dahlan tentang Pendidikan
1. Ahmad Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1993)
2. Ajib Rosidi, M. Natasir, Sebuah Biografi, (Jakarta : Girimukti Pasaka, 1990)
3. Anwar Harjono, et-al., Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natasir, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996)
4. Lukman Harun, “Hari-Hari Terakhir PDRI” dalam Endang Saifuddin Anshari dan Amin Rais, Pak Natasir 80 Tahun, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, (Jakarta : Media Dakwah, 1988)
5. Mohammad Natasir, Politik Melalui Jalur Dakwah dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah,(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993)
6. Mohammad Natasir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, (Jakarta : Media Dakwah, 1987)
7. Tohir Luth, M.Natasir, Dakwah dan pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani, 1999)
8. Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Islam dan Demokrasi, Pandangan Politik M.Natasir dalam Islamika No.3, 1994
9. Yusuf Abdullah Puar, Mohammad Natasir 70 tahun, (Jakarta: Pustaka Antara, 1978)
10. Aries Musnandar Pemikiran M. Natsir dan A. Dahlan tentang Pendidikan
[4] Ibid 3
[5] Lukman Harun, “Hari-Hari Terakhir PDRI” dalam Endang Saifuddin Anshari dan Amin Rais, Pak Nasir 80 Tahun, Pandangan dan Penilaian Generasi Muda, (Jakarta : Media Dakwah, 1988)
[6] Mohamad Nasir, Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme dan Nostalgia, (Jakarta : Media Dakwah, 1987)
[8] Aries Musnandar Pemikiran M. Natsir dan A. Dahlan tentang Pendidikan
0 komentar:
Posting Komentar