BAB I
PENDAHULUAN
A. DASAR PEMIKIRAN
Teriring salam dan do’a semoga Allah SWT melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dan senantiasa sukses dalam menjalankan aktifitas keseharian. Amin
Latihan kader pada hakikatnya merupakan bentuk perkaderan HMI yang berorientasi pada pembentukan watak kepribadian, pola pikir, visi, orientasi serta berwawasan ke-HMI-an yang paling elementer. Kedudukan dan peranan latihan ini adalah untuk meletakkan fundamen bagi setiap kader HMI yang dituntut siap mengemban amanah dan tanggung jawab untuk membangun bangsa Indonesia di masa depan. Oleh karena itu posisi latihan ini sangat menentukan gerak dan dinamika para kader maupun organisasi, sehingga apabila penanggung jawab latihan keliru dalam mengkomunikasikan dan mensosialisasikan semangat dan gagasan dasarnya, maka keliru pula pengembangan bentuk-bentuk pembinaan berikutnya, baik pada up-grading maupun aktivitas.
INSTRUKTUR adalah kelompok elit di HMI. Mereka memerankan citra kekaderan dan peran-peran keilmuan. Disamping memiliki kode etik, mereka juga bertanggung jawab terhadap pembinaan komisariat. Ketika sedang menjadi fungsionaris himpunan, disaat itu pula mereka dapat menjadi aktifis kampus serta tampil di arena - arena pengembangan diri lainnya. Kekuatan komitmen dan dedikasi mereka adalah alasan mengapa HMI masih ada sampai saat ini. Menurut kami, mereka inilah yang mempunyai peranan yang sangat besar, berhasil atau tidak perkaderan, mencapai tujuan atau tidak perkaderan serta mampu menghasilkan kader-kader militan dan mempunyai dedikasi tinggi terhadap HMI atau tidak?, tentunya sesuai dengan tujuan Basic Training (LK I) yaitu : “Terbinanya KEPRIBADIAN MUSLIM yg berkualitas AKADEMIS, sadar akan fungsi & perannya dlm ORGANISASI, serta hak & kewajiban sebagai KADER UMMAT & BANGSA”.
Sementara itu, BADAN PENGELOLA LATIHAN (BPL) HMI CABANG adalah struktur lain di HMI yang memiliki kekuatan dominan terhadap tegaknya kontinuitas perkaderan. Jika institusi ini cukup handal dalam mengelola training maka baiklah output perkaderan. Namun apakah institusi utama ini profesional menjalankan itu semua masih dapat kita pertanyakan. Jika pedoman sudah lengkap namun perkaderan masih acak-acakan, berarti kemungkinan masalah terbesarnya ada pada komitmen, keseriusan atau kemauan para pengelolanya.
Oleh karena itu Badan Pengelola Latihan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Serang coba membenahi pola perkaderan dengan membuat pedoman baku perkaderan Basic Training (LK I) di HMI Se-Cabang Serang. Buku Perkaderan “Basic Training” ini, didalamnya berisi konsep - konsep penting tentang perkaderan Basic Training. Secara terperinci, buku ini menguraikan Siklus Basic Training (tahapan-tahapan penting pelaksaan LK – 1), yang dimulai sejak fase pemasaran HMI sampai dengan evaluasi dan monitoring keseluruhan training dan aktifitas - aktifitas pasca training. Lebih jauh lagi, buku ini dilengkapi berbagai lembaran isian atau formulir-formulir yang sering dibutuhkan dalam mengelola sebuah Basic Training. Sebagian formulir mungkin sudah akrab dengan kita. Sementara sebagian besar lainnya BPL rancang baru sesuai kebutuhan bersama. Dan buku ini juga berisi sejumlah kompilasi materi dan teknis LK - 1 lainnya.
Buku ini BPL susun dari berbagai referensi. Mulai dari Buku Pedoman Perkaderan, Hasil-Hasil Kongres, tradisi-tradisi HMI Se-Cabang Serang, dan diskusi – diskusi. Disamping itu, hasil pengayaan dan pengalaman BPL turut memperkaya kedalaman panduan ini. Model penyajian dalam format “visualisasi skematis” - yang lebih mempermudah cara kerja otak dalam membaca dan memahami, adalah sisi lain keunikan tampilan panduan ini. Terakhir, patut diingat bahwa tampilan bahan ini lebih merefleksikan pengalaman lokal HMI Cabang Serang dalam mengelola LK-1. Tentunya juga cocok bagi HMI Se-Cabang Serang untuk dijadikan sebagai input baru dan literatur komparasi.
Semoga hal kecil yang Badan Pengelola Latihan Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Serang lakukan ini bermanfaat bagi perkaderan di HMI Cabang Serang. Tidak ada sedikitpun upah yang BPL minta dari jerih payah ini, kecuali keikhlasan dan profesionalitas saudara-i ku semua dalam mengelola training - training di HMI. Mohon ma’af atas segala kekurangan.
B. LANDASAN
1. Pedoman Dasar Badan Pengelola Latihan Himpunan Mahasiswa Islam
2. Pasal 4, 5, 7, 8 Anggaran Dasar HMI
3. Pasal 53 dan 56 Anggaran Rumah Tangga HMI
C. TUJUAN
1. Terciptanya sumberdaya kader HMI dalam mempola pengkaderan yang baik
2. Memberikan pola perkaderan yang baik di HMI Se-Cabang Serang
3. Menyeragamkan pola perkaderan di HMI Se-Cabang Serang
4. Menyiapkan pengelola latihan atas permintaan pengurus HMI setingkat
5. Meningkatkan kualitas latihan
6. Melakukan standarisasi pengelola training dan pengelolaan training
7. Memberikan informasi kepada pengurus HMI setingkat tentang perkembangan kualitas latihan
D. SASARAN
1. Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Se-Cabang Serang
2. Panitia Pelaksana Basic Training (LKI) Baik SC, maupun OC
3. Master of Training
BAB II
POLA UMUM PERKADERAN HMI
I. LANDASAN PERKADERAN
Perkaderan merupakan pijakan pokok atau pondasi yang dijadikan sebagai sumber inspirasi dan motivasi dalam proses perkaderan HMI. Untuk itu, dalam melaksanakan perkaderan HMI bertitik tolak pada 5 (lima) landasan, sebagai berikut :
- Landasan Teologis
Sesungguhnya ketauhidan manusia adalah fitrah (Q.S. Ar-Rum : 30) yang diawali dengan perjanjian primordial dalam bentuk pengakuan kepada Tuhan sebagai Zat pencipta (Q.S. Al-A’araf : 172). Bentuk pengakuan tersebut merupakan penggambaran ketaklukan manusia kepada zat yang lebih tinggi. Kesanggupannya menerima kontrak primordial tersebut mendapat konsekuensi logis dengan penipuan Ruh Tuhan kedalam jasad manusia yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan terhadap apa yang dilakukannya didunia kepada pemberi mandat kehidupan.
Penipuan Ruh Tuhan sekaligus menggambarkan refleksi sifat‑sifat Tuhan kepada manusia. Maka seluruh potensi Illahiyah secara ideal dimiliki oleh manusia. Prasyarat inilah yang memungkinkan manusia menjadi khalifah dimuka bumi. Seyogyanya tugas kekhalifahan manusia dibumi berarti menyebarkan nilai‑nilai Illahiyah dan sekaligus menginterpretasikan realitas sesuai dengan persfektif Illhiyah tersebut. Namun proses materialisasi manusia melalui jasad menimbulkan konsekuensi baru dalam wujud reduksi nilai‑nilai Illahiyah. Manusia hidup dalam realitas fisik yang dalam konteks ini manusia hanya "mengada" (being). Hanya dengan "kesadaran" (consiosness)‑lah manusia menemukan realiatas "menjadi" (becoming).
Manusia yang "menjadi" adalah manusia yang mempunyai kesadaran akan aspek transendent sebagai realitas tertinggi dalam hal ini konsepsi syahadat akan ditafsirkan sebagai monotheisme radikal. Kalimat syahadat pertama berisi negasi yang seolah meniadakan semua yang berbentuk Tuhan. Kalimat kedua lalu menjadi afirmasi sekaligus penegasan atas Zat yang Maha Tunggal (Allah). Menjiwai konsepsi diatas maka perjuangan kemanusiaan adalah melawan segala sesuatu yang membelenggu manusia dari yang di‑Tuhan‑kan. Itulah thogut dalam perspektif Qur'an.
Dalam menjalani fungsi kekhalifahannya maka internalisasi sifat Allah dalam diri manusia harus menjadi sumber inspirasi. Dalam konteks ini tauhid menjadi aspek progresif dalam menyikapi persoalan‑persoalan mendasar manusia. Karena Tuhan adalah pemelihara kaum yang lemah (rabbulmustahd'afin); maka meneladani Tuhan juga berarti keberpihakan kepada kaum musthd'afin. Pemahaman ini akan mengarahkan pada pandangan bahwa ketauhidan adalah nilai‑nilai yang bersifat transformatif, nilai‑nilai yang membebaskan, nilai yang berpihak dan nilai‑nilai yang bersifat revolusioner. Spirit inilah yang harus menjadi paradigma dalam sistem perkaderan HMI.
- Landasan Ideologis
Islam sebagai landasan nilai yang secara sadar dipilih untuk menjawab kebutuhan kebutuhan serta masalah‑masalah yang terjadi dalam suatu komunitas masyarakat (transformatif). Ia mengarahkan manusia untuk mencapai tujuan dan idealisme yang dicita‑citakan, yang untuk tujuan dan idealisme tersebut mereka rela berjuang dan berkorban bagi keyakinannya. Ideologi Islam senantiasa mengilhami dan memimpin serta mengorganisir perjuangan, perlawanan dan pengorbanan yang luar biasa untuk melawan semua status quo, belenggu dan penindasan terhadap umat manusia
Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad telah meperkenalkan Ideologi dan mengubahnya menjadi suatu keyakinan, serta memimpin rakyat kebanyakan dalam praktek‑praktek mereka melawan kaum penindas. Nabi Muhammad lahir dan muncul dari tengah‑tengah kebanyakan yang oleh Al‑Qur’an dijuluki sebagai “Ummi”. Kata “Ummi” (yang biasa diartikan buta huruf) menurut Syari’ati (dalam bukunya Ideologi kaum Intelektual) yang disifatkan pada nabi berarti bahwa ia dari kelas rakyat yang termasuk didalamnya adalah orang‑orang awam yang buta huruf, para budak, anak yatim, janda dan orang‑orang miskin (mustadhafin) yang luar biasa menderitanya, dan bukan berasal dari orang‑orang terpelajar, borjuis dan elite penguasa. Dari komunitas inilah Muhammad memulai dakwahnya untuk mewujudkan cita‑cita ideal Islam.
Cita‑cita ideal Islam adalah, adanya transformasi terhadap ajaran‑ajaran dasar Islam tentang persaudaraan universal (Universal Brotherhood), keseteraan (Equality) keadilan sosial (Social Justice), dan keadilan ekonomi (Economical Justice) sebuah cita‑cita yang memiliki aspek liberatif, sehingga dalam usaha untuk mewujudkannya membutuhkan keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen, karena pada dasarnya sebuah ideologi menuntut penganutnya bersikap setia (Committed).
Dalam usaha untuk mewujudkan cita‑cita, pertama, persaudaraan universal dan kesetaraan (equality), Islam telah menekankan kesatuan manusia (unity of mankind) yang ditegaskan dalam Al‑Qur’an, “Hai manusia ! kami ciptakan kamu dari laki‑laki dan perempuan, kami jadikan karnu berbangsa‑bangsa dan bersuku‑suku supaya kamu safing, mengenaL Sungguh yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. “ (QS Al‑Hujarat) : 13). Ayat ini secara jelas mebantah semua konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu penegasan dan seruan akan pentingnya keshalehan, baik keshalehan ritual maupun keshalehan sosial, sebagaimana Al‑Qur’an menyatakan, “Hai orang‑orang yang beriman, hendaklah kamu berdiri karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah karena kebencianmu kepada suatu kaum, sehingga kamu tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa dan takutlah kepada Allah…” (QS. Al‑Maidah : 8).
Kedua, Islam sangat menekankan kepada keadilan di semua aspek kehidupan. Dan keadilan tersebut tidak akan tercipta tanpa membebaskan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka (kaum mustadh’afin) untuk menjadi pemimpin. Menurut Al‑Qur’an mereka adalah pernimpin dan pewaris dunia. “Kami hendak memberikan karunia kepada orang‑orang tertindas dirnuka burni. Kami akan menjadikan mereka pemimpin dan pewaris bumi” (QS. Al‑Qashash: 5) “Dan kami wariskan kepada kaum yang tertindas seluruh timur bumi dan seluruh baratnya yang kami berkati. “ (QS. Al‑A’raf : 37).
Di tengah‑tengah suatu bangsa, ketika orang‑orang kaya hidup mewah di atas penderitaan orang miskin, ketika budak‑budak merintih dalam belenggu tuannya, ketika para penguasa membunuh rakyat yang tak berdaya hanya untuk kesenangan, ketika para hakim memihak pemilik kekayaan dan penguasa, mereka memasukkan orang‑orang kecil yang tidak berdosa ke penjara. Muhammad SAW menyampaikan pesan Rabbullmustadha’afin : “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, baik laki‑laki, perempuan dan anak-anak yang berdo’a, Tuhan kami ! Keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya berbuat zalim, dan berilah kami perlindungan dan pertolongan dari sisi Engkau.” (QS. An-Nisa : 75). Dalam ayat ini menurut Asghar Ali Engineer (dalam bukunya Islam dan Teologi Pembebasan) Al-Qur’an mengungkapkan teori “kekerasan yang membebaskan”, “Perangilah mereka itu, hingga tidak ada fitnah.” (Q.S. Al-Anfal : 39) Al-Qur’an dengan tegas mengutuk Zulm (penindasan). Allah tidak menyukai kata-kata yang kasar kecuali oleh orang yang tertindas. “Allah tidak menyukai perkataan yang kasar/jahat (memaki), kecuali bagi orang yang teraniaya….” (QS. An-Nisa’ : 148).
Ketika, Al‑Qur’an sangat menekankan keadilan ekonomi yang distributif. Keadilan ini seratus persen menentang penumpukan dan penimbunan harta kekayaan. Al‑Qur’an sejauh mungkin menganjurkan agar orang‑orang kaya hartanya untuk anak yatim, janda‑janda dan fakir miskin. “Adakah engkau ketahui orang yang mendustakan agarna? Mereka itu adalah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menyuruh memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang yang shalat, yang meraka itu lalai dari sholatnya, dan mereka itu riya, enggan memberikan zakatnya. “ (QS. AI‑Mauun : 1‑7).
Al‑Qur’an tidak menginginkan harta kekayaan itu hanya berputar di antara orang‑orang kaya saja. “Apa‑apa (harla rarnpasan) yang diberikan Allah kepada Rasul‑Nya dari penduduk negeri (orang‑orang kafir), maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, untuk karib kerabat Rasul, anak‑anak yatim, orang‑orang miskin, dan orang yang berjalan, supaya jangan harta itu beredar antara orang‑orang kaya saja diantara kamu … “ (QS. Al Hasyr : 7). Al‑Qur’an juga memperingatkan manusia agar tidak suka menghitung‑hitung harta kekayaannya, karena hartanya tidak akan memberikan kehidupan yang kekal. Orang yang suka menumpuk‑numpuk dan menghitung-hitung harta benar‑benar akan dilemparkan kedalam bencana yang mengerikan, yakni api neraka yang menyala-nyala (QS. Al‑Humazah :1‑9). Kemudian juga pada Surat At‑Taubah : 34 AI‑Qur’an memberikan beberapa peringatan keras kepada mereka yang suka menimbun harta dan mendapatkan hartanya dari hasil eksploitasi (riba) dan tidak membelanjakannya di jalan Allah.
Pada masa Rasulullah SAW. Banyak sekali orang yang terjerat dalam perangkap hutang karena praktek riba. AI‑Qur’an dengan tegas melarang riba dan memperingatkan siapa saja yang melakukannya akan diperangi oleh Allah dan Rasul‑Nya (Iihat, QS. Al‑Baqarah: 275‑279 dan Ar‑Rum – 39). Demikianlah Allah dan Rasul‑Nya, telah mewajibkan untuk melakukan perjuangan membela kaum‑kaum yang tertindas, dan mereka (Allah dan Rasul‑Nya) telah memposisikan diri sebagai pembela mustadh’afin.
Dalam keseluruhan proses aktifitas manusia di dunia ini, Islam selalu mendesak manusia untuk terus memperjuangkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan, melawan penindasan dan ekploitasi. AI‑Qur’an memberikan penegasan “Kamu adalah sebaik‑baik umat, yang dilahirkan bagi mantisia, supaya kami menyuruh berbuat kebajikan (ma’ruf) dan melarang berbuat kejahatan (mungkar), serta beriman kepada Allah. (QS. Ali-Imran : 110). Dalam rangka memperjuangkan kebenaran ini, manusia bebas mengartikulasikan sesuai dengan konteks lingkungannya tidak terjebak pada hal‑hal yang bersifat mekanis dan dogmatis. Menjalankan ajaran Islam yang bersumber pada AI‑Qur’an dan As‑Sunnah berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaikan persoalan‑persoalan kehidupan yang serba kompleks sesuai dengan kemampuannya.
Demikianlah cita‑cita ideal Islam, yang senantiasa harus selalu diperjuangkan dan ditegakkan, sehingga dapat mewujudkan seuatu tatanan masyrakat yang adil, demokratis, egaliter dan berperadaban. Dalam memperjuangkan cita‑cita tersebut manusia dituntut untuk selalu setia (committed) terhadap ajaran Allah SWT, ikhlas, rela berkorban sepanjang hidupnya dan senantiasa terlibat dalam setiasa pembebasan kaum tertindas (mustadh'afin). "Sesungguhnya sholat‑ku, perjuangan‑ku, hidup dan mati‑ku, semata‑mata hanya untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada serikat bagi‑Nya dan aku diperintah untuk itu, serfa aku termaasuk orang yang pertama berserah diri. " (QS. AI‑An'am : 162‑163).
- Landasan Konstitusi
Dalam rangka mewujudkan cita‑cita perjuangan HMI kemasa depan, HMI kemudian mempertegas posisinya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara demi melaksanakan tanggungjawabnya bersama seluruh rakyat Indonesia dalam mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh Allah SWT. Dalam pasal 3 tentang azas ditegaskan bahwa organisasi in berazaskan Islam dan bersumber kepada Alqur'an dan Assunah. Penegasan pasal ini memberikan cerminan bahwa didalam dinamikanya, HMI senantiasa mengemban tugas dan tanggung jawab dengan semangat keislaman yang tidak mengesampingkan semangat kebangsaan. Dalam dinamika tersebut, HMI sebagai organisasi kepemudaan menegaskan sifatnya sebagai organisasi mahasiswa yang idenpenden (Pasal 6 AD HMI), berstatus sebagai organisasi mahasiswa (Pasal 7 AD HMI), memiliki fungsi sebagai organisasi kader (Pasal 8 AD HMI) serta berperan sebagai organisasi perjuangan (Pasal 9 AD HMI).
Dalam rangka melaksanakan fungsi dan perananya secara terus menerus yang berorientasi kemasa depan, HMI menetapkan tujuannya dalam pasal 4 AD HMI, yaitu terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam serta bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Kualitas kader yang akan dibentuk ini kemudian dirumuskan dalam tafsir tujuan HMI. Oleh karena itu, maka tugas pokok HMI adalah perkaderan (cadre forming) yang diarahkan pada perwujudan kualitas insan cita yakni dalam pribadi yang beriman dan berilmu pengetahuan serta mampu melaksanakan kerja‑kerja kemanusiaan (amal saleh). Pembentukan kualitas dimaksud kemudian diaktualisasikan dalam fase‑fase perkaderan HMI, yakni fase rekruitmen kader yang berkualitas, fase pembentukan kader agar memiliki kualitas pribadi Muslim, kualitas intelektual serta mampu melaksanakan kerja‑kerja kemanusiaan secara profesional dalam segala segi kehidupan dan fase pengabdian kader, dimana sebagai out put kader HMI harus mampu berkiprah dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa bernegara sebagai kader muslim berjuang bersama-sama dalam mewujudkan cita-cita masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT.
- Landasan Historis
Secara sosiologi dan historis, kelahiran HMI pada 5 Februari 1947 tidak terlepas dari permasalahan bangsa yang didalamnya mencakup Umat Islam sebagai satu kesatuan dinamis dari bangsa Indonesia yang sedang mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan. Kenyataan itu merupakan motivasi kelahiran HMI sekaligus dituangkan dalam rumusan tujuan berdirinya, yaitu : pertama, mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan syi’ar agama Islam. Ini menunjukkan bahwa HMI bertanggung jawab terhadap permasalahan Bangsa dan Negara Indonesia serta bertekad mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan manusia secara utuh.
Makna rumusan tujuan itu akhirnya membentuk wawasan dan langkah perjuangan HMI kedepan yang terintegrasi dalam dua yaitu aspek ke-Islaman dan aspek ke-bangsaan. Aspek ke-Islaman tercermin melalui komitmen HMI untuk selalu mewujudkan nilai-nilai ajaran Islam secara utuh dalam kehidupan berbangsa sebagai pertanggungjawaban fungsi kekhalifahan manusia, sedangkan aspek kebangsaan adalah komitmen HMI untuk senantiasa bersama-sama seluruh rakyat Indonesia merealisasikan cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia demi terwujudnya cita-cita masyarakat yang demokratis, berkeadilan sosial dan berkeadaban. Dalam sejarah perjalanan HMI pelaksanaan komitmen ke-Islaman dan kebangsaan merupakan garis perjuangan dan Misi HMI yang pada akhirnya akan membentuk kepribadian HMI dalam totalitas perjuangan bangsa Indonesia kedepan.
Melihat komitmen HMI pada wawasan sosiologis dan historis berdirinya pada tahun 1947 tersebut, yang juga telah dibuktikan dalam sejarah perkembangnnya, maka pada hakikatnya segala bentuk pembinaan kader HMI harus pula tetap diarahkan dalam rangka pembentukan pribadi kader yang sadar akan keberadaannya sebagai pribadi muslim, khalifah dimuka bumi dan pada saat yang sama kader tersebut harus menyadari pula keberadannya sebagai kader bangsa Indonesia yang bertanggung jawab atas terwujudnya cita-cita bangsa kedepan.
- Landasan Sosio-Kultural
Islam yang masuk di kepulauan Nusantara telah berhasil merubah kultur masyarakat di daerah sentral ekonomi dan politik menjadi kultur Islam. Keberhasilan Islam yang secara dramatik telah berhasil menguasi hampir seluruh kepulauan nusantara, tentunya hal tersebut disebabkan oleh karena Agama Islam memiliki nilai-nilai universal yang tidak mengenal batas-batas sosio-kultural, geografis dan etnis manusia. Sifat Islam ini termanifestasikan dalam cara penyebaran Islam oleh para pedagang dan para wali dengan pendekatan sosio-kultural yang cukup persuasif.
Masuknya Islam secara damai (panetration pacifique) tersebut berhasil mendamaikan kultur Islam dengan kultur masyarakat nusantara. Dalam proses sejarahnya, budaya sinkretisme penduduk pribumi ataupun masyarakat, ekonomi dan politik yang didominasi oleh kultur tradisional, feodalisme, hinduisme dan budhaisme mampu dijinakkan dengan pendekatan Islam kultural ini. Pada perkembangan selanjutnya Islam mengindonesia dan secara tidak langsung telah mempengaruhi kultur Indonesia yang dari waktu ke waktu semakin modern.
Karena mayoritas bangsa Indonesia adalah beragama Islam, maka kultur Islam telah menjadi realitas sekaligus memperoleh legitimasi sosial dari bangsa Indonesia yang pluralistik. Dengan demikian wacana kebangsaan di seluruh aspek kehidupan ekonomi, politik, dan sosial budaya Indonesia meniscayakan transformasi total nilai‑nilai universal Islam menuju cita‑cita mewujudkan peradaban Islam. Nilai‑nilai Islam itu semakin mendapat tantangan ketika deras arus Globalisasi telah menyeret umat manusia pada perilaku pragmatisme, permisiveisme dibidang ekonomi dan politik. Sisi negatif dari globalisasi ini disebabkan oleh percepatan perkembangan sains dan teknologi modern dan tidak diimbangi dengan nilai‑nilai etik dan moral.
Konsekuensi dari realitas di atas adalah semakin kaburnya batas‑batas bangsa, sehingga cenderung menghilangkan nilai‑nilai kultural yang menjadi suatu ciri khas dari suatu negara yang penuh dengan pluralisme budaya masyarkat. Disisi lain teknologi menghadirkan ketidakpastian psikologis umat manusia, sehingga kejenuhan manusia menimbulkan primordialisme. Dari sini nilai‑nilai ideologi, moral dan agama yang tadinya kering kerontang kembali menempati posisi kunci dalam ide dan konsesi komunitas global. Dua sisi ambigu globalisasi ini adalah tampilan dari sebuah dunia yang penuh paradoks.
Berdasarkan pertimbanga-pertimbangan diatas, maka Himpunan Mahasiswa Islam sebagai bagian integral umat Islam dan bangsa Indonesia (kader umat dan kader bangsa) sudah semestinya untuk menyiasiati perkembangan dan kecenderungan global tersebut dalam bingkai perkaderan HMI yang integralistik. Dalam hal ini untuk menyiasiati perkembangan global tersebut harus berdasarkan kepada perkembangan komitmen pada nilai‑nilai antropologis, sosiologis umat Islam dan bangsa Indonesia sebagai wujud dari pemahaman HMI akan nilai‑nilai kosmopolotanisme dan universalisme Islam.
II. POLA DASAR PERKADERAN
Dalam menjalankan fungsinya sebagai organisasi kader, HMI menggunakan pendekatan sistematik dalam keseluruhan proses perkaderannya. Semua bentuk aktifitas/kegiatan perkaderan disusun dalam semangat integralistik untuk mengupayakan tercapainya tujuan organisasi. Oleh karena itu sebagai upaya memberikan kejelasan dan ketegasan system perkaderan yang dimaksud harus dibuat pola dasar perkaderan HMI secara nasional. Pola dasar ini disusun dengan memperhatikan tujuan organisasi dan arah perkaderan yang telah ditetapkan. Selain itu juga dengan mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan organsiasi serta tantangan dan kesempatan yang berkembang dilingkungan eksternal organisasi.
Pola dasar ini membuat garis besar keseluruahn tahapan yang harus ditempuh oleh seorang kader dalam proses perkaderan HMI, yakni sejak rekruitmen kader, pembentukan kader dan gamabaran jalur‑jalur pengabdian kader.
- Pengertian Dasar
A. Kader
Menurut AS Hornby (dalam kamusnya Oxford Advanced Learner's Dictionary) dikatakan bahwa "Cadre is a small group of People who are specially chosen and trained for a particular purpose, atau “cadre is a member of this kind of group; they were to become the cadres of the new community party". Jadi pengertian kader adalah "sekelompok orang yang terorganisasir secara terus menerus dan akan menjadi tulang punggung bagi kelompok yang lebih besar". Hal ini dapat dijelaskan, pertama, seorang kader bergerak dan terbentuk dalam organisasi, mengenal aturan‑aturan permainan organisasi dan tidak bermain sendiri sesuai dengan selera pribadi. Bagi HMI aturan‑aturan itu sendiri dari segi nilai adalah Nilai Dasar Perjuangan (NDP) dalam pemahaman memaknai perjuangan sebagai alat untuk mentransformasikan nilai‑nilai ke‑Islam‑an yang membebaskan (Liberation force), dan memiliki kerberpihakan yang jelas terhadap kaum tertindas (mustadhafin). Sedangkan dari segi operasionalisasi organisasi adalah AD/ART HMI, pedoman perkaderan dan pedoman serta ketentuan organisasi lainnya. Kedua, seorang kader mempunyai komitmen yang terus menerus (permanen), tidak mengenal semangat musiman, tapi utuh dan istiqomah (konsisten) dalam memperjuangkan dan melaksanakan kebenaran. Ketiga, seorang kader memiliki bobot dan kualitas sebagai tulang punggung atau kerangka yang mampu menyangga kesatuan komunitas manusia yang lebih besar. Jadi fokus penekanan kaderisasi adalah pada aspek kualitas. Keempat, seorang Kader rneiliki visi dan perhatian yang serius dalam merespon dinamika sosial lingkungannya dan mampu melakukan "social engineering".
Kader HMI adalah anggota HMI yang telah melalui proses perkaderan sehingga meiniliki ciri kader sebagaimana dikemukakan di atas dan memiliki integritas kepribadian yang utuh : Beriman, Berilmu dan beramal Shaleh sehingga siap mengemban tugas dan amanah kehidupan beragama,bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
B. Perkaderan
Perkaderan adalah usaha organisasi yang dilaksanakan secara sadar dan sisternatis selaras dengan pedoman perkaderan HMI, sehingga memungkinkan seorang anggota HMI mengaktualisasikan potensi dirinya menjadi seorang kader Muslim ‑Intelektual ‑ Profesional, yang memiliki kualitas insan cita.
- Rekruitmen Kader
Sebagai konsekuensi dari organisasi kader, maka aspek kualitas kader merupakan fokus perhatian dalam proses perkaderan HMI guna menjamin terbentuknya out put yang berkualitas sebagaimana yang disyaratkan dalam tujuan organisasi, maka selain kualitas proses perkaderan itu sendiri, kualitas input calon kader menjadi faktor penentu yang tidak kalah pentingnya.
Kenyataan ini mengharuskan adanya pola‑pola perencanaan dan pola rekrutmen yang lebih memperioritaskan kepada tersedianya input calon kader yang berkualitas. Dengan demikian rekrutmen kader adalah merupakan upaya aktif dan terencana sebagai ikhtiar untuk mendapatkan in put calon kader yang berkualitas bagi proses Perkaderan HMI dalam mencapai tujuan organisasi.
A. Kriteria Rekruitmen
Rekrutmen Kader yang lebih memperioritaskan pada pengadaan kader yang berkualitas tanpa mengabaikan aspek kuantitas, mengharuskan adanya kreteria rekrutmen. Kreteria Rekrutmen ini akan mencakup kreteria sumber‑sumber kader dan kreteria kualitas calon kader.
a. Kreteria Sumber‑sumber Kader
Sesuai dengan statusnya sebagai organisi mahasiswa, maka yang menjadi sumber kader HMI adalah Perguruan Tinggi atau Institut lainnya yang sederajat seperti apa yang disyaratkan dalam AD/ART HMI. Guna mendapatkan input kader yang berkualitas maka pelaksanaan rekrutmen kader perlu diorientasikan pada Perguruan Tinggi atau Lembaga pendidikan sederajat yang berkualitas dengan memperhatikan kreteria‑kreteria yang berkembang di masing‑masing daerah.
b. Kreteria Kualitas calon Kader
Kualitas calon kader yang diperioritaskan ditentukan oleh kreteria‑kreteria tertentu dengan memperhatikan integritas pribadi dan calon kader, potensi dasar akademik, potensi berprestasi, potensi dasar kepemimpinan serta bersedia melakukan peningkatan kualitas individu secara terus-menerus.
B. Metode dan Pendekatan Rekruitmen
Metode dan pendekatan rekrutmen merupakan cara atau pola yang ditempuh untuk melakukan pendekatan kepada calon‑calon kader agar mereka mengenal dan tertarik menjadi kader HMI. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan rekruitmen dilakukan dua kelompok sasaran.
a. Tingkat Pra Perguruan Tinggi
Pendekatan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan sedini mungkin keberadaan HMI ditengah‑tengah masyarakat khususnya masyarakat ilmiah ditingkat pra perguruan tinggi atau siswa-siswa sekolah menengah. Strategi pendekatan haruslah memperhatikan aspek psikologis sebagai remaja.aspek
Tujuan pendekatan ini adalah agar terbentuknya opini awal yang positif dikalagan siswa-siswa sekolah menengah terhadap HMI. Untuk kemudian pada gilirannya terbentuk pula ras simpati dan minat untuk mengetahuinya lebih jauh.
Pendekatan rekrutmen dapat dilakukan dengan pendekatan aktifitas (activity approach) dimana siswa dilibatkan seluas‑luasnya pada sebuah aktifitas. Bentuk pendekatan ini bisa dilakukan lewat fungsionalisasi lembaga‑lembaga kekaryaan HMI serta perangkat organisasi HMI lainnya secara efektif dan efisien, dapat juga dilakukan pendekatan perorangan ((personal approach)
b. Tingkat Perguruan Tinggi
Pendekatan rekrutmen ini dimaksudkan untuk membangun persepsi yang benar dan utuh dikalangan mahasiswa terhadap keberadaan organisasi HMI sebagai mitra Perguruan Tinggi didalam mencetak kader‑kader bangsa. Strategi pendekatan harus mampu menjawab kebutuhan nalar mahasiswa (student reasoning), minat mahasiswa (studen interst) dan kesejahteraan mahasiswa (student welfare).
Pendekatan di atas dapat dilakukan lewat aktifitas dan pendekatan perorangan, dengan konsekuensi pendekatan fungsionalisasi masing‑masing aparat HMI yang berhubungan langsung dengan basis calon kader HMI. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan cara kegiatan yang berbentuk formal seperti pelatihan-pelatihan.
Metode dan pendekatan rekrutmen seperti tersebut di atas diharapkan akan mampu membangun rasa simpati dan hasrat untuk mengembangkan serta mengaktualisasikan seluruh potensi dirinya lewat pelibatan diri pada proses perkaderan HMI secara terus menerus.
3. Pembentukan Kader
Pembentukan kader merupakan sekumpulan aktifitas perkaderan yang integrasi dalam upaya mencapai tujuan HMI
A. Latihan Kader.
Latihan kader merupakan perkaderan HMI yang dilakukan secara sadar, terencana, sitematis dan berkesinambungan serta memiliki pedoman dan aturan yang baku secara rasional dalam rangka mencapai tujuan HMI. Latihan ini berfungsi memberikan kemampuan tertentu kepada para pesertanya sesuai dengan tujuan dan target pada masing‑masing jenjang latihan. Latihan kader merupakan media perkaderan formal HMI yang dilaksanakan secara berjenjang serta menuntut persyaratan tertentu dari pesertanya, pada masing-masing jenjang latihan ini menitikberatkan pada pembentukan watak dan Karakter kader HMI melalui transfer nilai, wawasan dan keterampilan serta pemberian rangsangan dan motivasi untuk mengaktualisasikan kemampuannya. Latihan kader terdiri dan 3 (tiga) jenjang, yaitu:
a. Basic Training (latihan Kader 1)
b. Intermediate Training (latihan Kader ll )
c. Advance Training (latihan Kader III )
B. Pengembangan
Pengembangan merupakan kelanjutan atau kelangkapan latihan dalam keseluruhan proses perkaderan HMI. Hal ini merupakan penjabaran dari pasal 5 Anggaran Dasar HMI
a. Up Grading
Up Grading dimaksudkan sebagai media perkaderan HMI yang menitikberatkan pada pengembangan nalar, minat dan kemampuan peserta pada bidang tertentu yang bersifat praktis, sebagai kelanjutan dari perkaderan yang dikembangkan melalui latihan kader.
b. Pelatihan
Pelatihan adalah training jangka pendek yang bertujuan membentuk dan mengembangkan profesionalisme kader sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya masing‑masing.
c. Aktifitas
c.a. Aktifitas organisasional
Aktifitas organisasional merupakan suatu aktifitas yang bersifat organsiasi yang dilakukan oleh kader dalam lingkup tugas organisasi.
a. Intern organisasi yaitu segala aktifitas organisasi yang dilakukam oleh kader dalam Iingkup tuas HMI.
b. Ekstern organisasi yaitu segala aktifitas organisasi yang dilakukan oleh kader dalam lingkup tugas organisasi diluar HMI
c.b. Aktifitas Kelompok
Aktifitas kelompok merupakan aktifitas yang dilakukan oleh kader dalam suatu kelompok yang tidak rnerniliki hubungan struktur dengan organisasi formal tertentu.
a. Intern organisasi
Yaitu segala aktifitas kelompok yang diklakukan oleh kade HMI dalam lingkup organisasi HNII yang fidak memiliki hubungan struktur (bersifat informal).
b. Ekstern organisasi
Yaitu segala aktifillas kelompok yang dilakukan oleh kader diluar lingkup organisasi dan tidak memi;iki hubungan dengan organisasi formal manapun.
c.c. Aktifitas Perorangan
Aktifiatas perorangan merupakan aktifitas yang dilakukan oleh kader secara perorangan.
a. Intern Organisasi.
Yaitu segala aktifitas yang dilakukam oleh kader secara perorangan untuk menyahuti tugas dan kegiatan organisasi HMI.
b. Ekstern Organisasi.
Yaitu segala aktititas yang dilakukan oleh kader secara perorangan diluar tuntutan tugas dan kegiatan organisasi HMI.
C. Pengabdian Kader.
Dalam rangka meningkatkan upaya mewujudkan masyarakat cita HMI yaitu masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT, maka diperlukan peningkatan kualitas dan kuantitas pengabdian kader. Pengabdian Kader ini merupakan penjabaran dari peranan HMI sebagai organisasi perjuangan. Dan oleh karena itu seluruh bentuk‑bentuk pembangunan yang dilakukan merupakan jalur pengabdian kader HMI, maka jalur pengabdiannya adalah sebagai berikut :
a. Jalur akademis (pendidikan,penelitian dan pengembangan).
b. Jalur dunia profesi (Dokter, konsultan, pangacara, manager, jurnalis dan lain‑lain).
c. Jalur Birokrasi dan pemerintahan.
d. Jalur dunia usaha (koperasi, BUMN dan swasta)
e. Jalur sosial politik
f. Jalur TNI/Kepolisan
g. Jalur Sosial Kemasyarakatan
h. Jalur LSM/LPSM
i. Jalur Kepemudaan
j. Jalur Olah raga dan Seni Budaya
k. Jalur‑jalur lain yang masih terbuka yang dapat dimasuki oleh kader‑kader HMI.
- Arah Perkaderan
Arah perkaderan adalah petunjuk yang membimbing jalan dalam bentuk bergerak menuju kesuatu tujuan. Arah juga dapat diartikan. sebagai pedoman yang dapat dijadikan patokan dalam melakukan usaha yang sisternatis untuk mencapai tujuan.
Jadi, arah perkaderan adalah suatu pedoman yang dijadikan petunjuk untuk penuntun yang menggambarkan arah yang harus dituju dalam keseluruhan proses perkaderan HMI. Arah perkaderan sangat kaitannya dengan tujuan perkaderan, dan tujuan HMI sebagai tujuan umum yang hendak dicapai HMI merupakan garis arah dan titik senteral seluruh kegiatan dan usaha‑usaha HMI. Oleh karena itu, tujuan HMI merupakan titik sentral dan garis arah setiap kegiatan perkaderan, maka ia merupakan ukuran atau norma dari semua kegiatan HMI.
Bagi anggota HMI merupakan titik pertemuan persamaan kepentingan yang paling pokok dari seluruh anggota, sehingga tujuan organisasi adalah juga merupakan tujuan setiap anggota organisasi. Oleh karenanya paranan anggota dalam pencapaian tujuan organisasi adalah sangat besar dan menentukan.
A. Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan perkaderan adalah usaha yang dilakukan dalam rangka mencapai tujuan organisasi melalui suatu proses sadar dan sisternatis sebagai alat transformasi nilai ke‑lslaman dalam proses rekayasa peradaban melalui pembentukan kader berkualitas muslim‑intelektual‑profesional sehingga berdaya guna dan berhasil guna sesuai dengan pedoman perkaderan HMI.
B. Target.
Terciptanya kader muslim‑intelektual‑profesional yang berakhlakul karimah serta mampu mengemban amanah Allah sebagai khalifah fil ardh dalam upaya mencapai tujuan organisasi.
III. WUJUD PROFIL KADER HMI di MASA DEPAN
Bertolak dari landasan‑landasan, pola dasar dan arah perkaderan HMI, maka aktifitas perkaderan HMI diarahkan dalam rangka membentuk kader HMI, muslim‑intelektual‑profesional yang dalam aktualisasi peranannya berusaha mentrtansformsikan nilai‑nilai ke‑Islaman yang memiliki kekuatan pernbebasan (liberation force)
Aspek‑aspek yang ditekankan dalam usaha pelaksanaan kaderisasi tersebut ditujukan pada:
1. Pembentukan integritas watak dan kepribadian
Yakni kepribadian yang terbentuk sebagai pribadi muslim yang menyadari tanggung jawab kekhalitahannya dimuka bumi, sehingga citra akhlakul karimah senantiasa tercermin dalam pola pikir, sikap dan perbuatannya.
2. Pengembangan kualtias intelektual
Yakni segala usaha pembinaan yang mengarah pada penguasaan dan pengembangan ilmu (sain) pengatahuan (knowledge) yang senantiasa dilandasi oleh nilai‑nilai Islam.
Yakni segala usaha pembinaan yang mengarah kepada peningkatan kemampuan mentransdformasikan ilmu pengatahuan ke dalam perbuatan nyata sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya secara konsepsional, sistematis dan praksis untuk mencapai prestasi kerja yang maksirnal sebagai perwujudan arnal shaleh.
Usaha mewujudkan ketiga aspek harus terintegrasi secara utuh sehingga kader HMI benar‑benar lahir menjadi pribadi dab kader Muslim‑ Intelktual‑Profesiona, yang mampu menjawab tuntutan perwujudan masyarakat adil dan makmur yang diridhoi Allah SWT.
BAB III
POLA DASAR
BASIC TRAINING (LK I)
I. ARAH BASIC TRAINING (LK I)
Arah Training adalah suatu pedoman yang dijadikan petunjuk atau penuntun yang menggambarkan arah yang harus dituju dalam keseluruhan proses pertrainingan HMI. Arah pertrainingan sangat erat kaitannya dengan tujuan perkaderan, dan tujuan HMI sebagai tujuan umum yang hendak dicapai HMI merupakan garis arah dan titik sentral seluruh kegiatan dan usaha‑usaha HMI. Oleh karena itu, tujuan HMI merupakan titik sentral dan garis arah setiap kegaitan perkaderan, maka ia merupakan ukuran atau norma dari semua kegiatan
HMI.
Bagi anggota, tujuan HMI merupakan titik pertemuan persarnaan kepentingan yang paling pokok dari seluruh anggota, sehingga tujuan organisasi adalah juga merupakan tujuan setiap anggota organisasi. Oleh karenanya peranan anggota dalam pencapaian tujuan organisasi adalah sangat besar dan menentukan.
- Jenis‑jenis Training
a) Training Formal
Training formal adalah training berjenjang yang diikuti oleh anggota, dan setiap jenjang merupakan prasyarat untuk mengikuti jenjang selanjutnya. Training firmal HMI terdiri dari : Latihan Kader I (Basic Training), Latihan Kader II (Intermediate Training), Latihan Kader Ill (Advence Training).
b) Training Non‑Formal
Training Non‑Formal adalah trainig ( yang dilakukan dalam rangka meningkatkan pernahaman dan profesionalisme kepemimpinan serta keorganisasian anggota. Training ini terdiri dari PUSIDIKLAT Pimpinan HMI, Senior Course, (Pelatihan Instruktur), Latihan Khusus KOHATI, Up‑Grading Kepengurusan, Up‑Grading Kesekretariatan, Pelatihan Kekaryaan, dan lain sebagainya.
- Tujuan Basic Training (LK I)
Tujuan dimaksudkan sebagai rumusan sikap, pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki anggota HMI setelah mengikuti jenjang Latihan Kader, Yaitu :
“Terbinanya kepribadian muslim yang berkualitas akademis, sadar akan fungsi dan peranannya dalam berorganisasi serta hak dan kewajibannya sebagai kader umat dan kader bangsa".
C. Target Basic Training (LK I)
· Memiliki kesadaran menjalankan ajaran islam dalam kehidupan sehari‑hari
· Mampu meningkatkan kemampuan akademis
· Memiliki kesadaran akan tanggungjawab keurnatan dan kebangsaan
· Memiliki Kesadaran berorganisasi
II. MANAJEMEN BASIC TRAINING (LK I)
- Alur Basic Training (LK I)
Alur Basic Traning (LK I) adalah mekanisme yang harus ditempuh dalam penyelenggaraan Basic Training (LK I). dijelaskan dalam bagan di bawah ini :

- Kepanitiaan
Kepanitiaan Basic Training (LK I) terdiri dari :
a. Penanggungjawab
b. MOT
c. SC
d. OC
- Administrasi Surat Menyurat
Surat menyurat sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HMI. Tetapi dalam rangka mensucikan Dzat Allah SWT maka lafadz Bismillahirrahmanirrahim yang terdapat dalam surat ditulis latin. Dan untuk penomoran surat sebagaimana yang telah dibakukan oleh BPL HMI Cabang Serang, Contoh : …../A/Sek/Bln H/Tahun H
Contoh Surat :
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Nomor : 01/A/Sek/02/1431 H
Lampiran : 1 (Satu) Lembar
Perihal : UNDANGAN RAPAT Kepada Yang Terhormat
Di-
TEMPAT
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Teriring salam dan do’a semoga Allah SWT melimpahkan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua dan sukses dalam menjalankan aktifitas keseharian. Amin
Selanjutnya, sehubungan dengan akan diadakannya rapat panitia Latihan Kader I (Basic Training) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat ..................................., yang insya Allah akan dilaksanakan pada :
Hari/tanggal : ___________________________
Waktu : ___________________________
Tempat : ___________________________
Maka dengan ini kami mengundang saudara/I untuk dapat hadir demi sukses dan lancarnya acara tersebut. Adapun susunan panitia sebagaimana terlampir.
Demikian surat undangan rapat ini kami sampaikan, atas perhatian dan kehadirannya kami haturkan terima kasih.
Billahit Taufiq Walhidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Serang, 30 Syawal 1430 H
19 Oktober 2009 M
PANITIA PELAKSANA
LATIHAN KADER I (LK I)
![]() ![]()
KETUA SEKRETARIS
Mengetahui;
PENGURUS
HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG SERANG
![]() |
- Metode Penerapan Kurikulum
Kurikulum yang terdapat dalam pedoman merupakan penggambaran tentang methode dari training. Oleh sebab itu penerapan dari kurikulum adalah erat hubungannya dengan masalah yang menyangkut methodemethode yang dipergunakan dalam training. Demikian pula materi training memiliki keterpaduan dan kesatuan dengan methode yang ada dalam jenjang‑jenjang training. Dalam hal ini, untuk penerapan kurikulum training ini perlu diperhatikan beberapa aspek.
a) Penyusunan jadwal materi training. Jadwal training adalah sesuatu yang merupakan gambaran tentang isi dan bentuk‑bentuk training. Oleh sebab itu perumusan jadwal training hendaknya menyangkut masalah-masalah:
· Urutan materi hendaknya dalam penyusunan suatu training perlu diperhatikan urut‑urutan tiap‑tiap materi yang harus memiliki korelasi dan tidak berdiri sendiri (Asas Integratif). Dengan demikian materi-materi yang disajikan dalam training selalu mengenal prioritas dan berjalan secara sistematis dan terarah, karena dengan cara seperti itu akan menolong peserta dapat memahami materi dalam training secara menyeluruh dan terpadu.
· Materi dalam jadwal training harus selalu disesuaikan dengan jenis dan jenjang Training.
b) Cara atau bentuk penyampaian materi Training. Cara penyampaian materi‑materi training adalah gabungan antara ceramah dan diskusi/dialog semakin tinggi tingkatan suatu training atau semakin tinggi tingkat kematangan peserta training, maka semakin banyak forum‑forum komunikasi idea (dialog/diskusi). Suatu Materi harus disampaikan secara diskutif, artinya instruktur bersama Master of Training berusaha untuk memberikan kesempatan‑kesempatan.
c) Adanya penyegaran kembali dalam pengembangan gagasan‑gagasan kreatif di kalangan anggota trainer; Forum training sebagai penyegar gagasan trainers, sedapat mungkin dalam forum tersebut tenaga instruktur dan Master of Training merupakan pioner dalam gagasan kreatif. Meskipun gagasan‑gagasan dan problema-problema yang di sajikan dalam forum belum sepenuhnya ada penyelesaian secara sempurna. Untuk menghindari pemberian materi secara indokrinatif dan absolustik maka penyuguhan materi hendaknya ditargetkan pada pemberian alat‑alat ilmu pengetahuan secara elementer. Dengan demikian pengembangan kreasi dan gagasan lebih banyak di berikan pada trainers.
d) Usaha menimbulkan kegairahan (motivasi) antara sesama unsur individu dalam forum training; Untuk menumbuhkan kegairahan dan suasana dinamik dalam training, maka forum semacam itu hendaknya merupakan bentuk dinamika group. Karena itu forum training harus mampu memberikan "chalanne" dan menumbuhkan "respon" yang sebesar‑besarnya. Hal ini dapat dilaksanakan oleh instruktur, asisten instruktur dan Master of Training.
e) Terciptanya kondisi‑kondisi yang equal (setara) antara sesama unsur individu dalam forum training, menciptakan kondisi equal antara segenap unsur dalam training berarti mensejajarkan dan menyetarakan semua unsur yang ada dalam training. Problem yang akan dihadapi adanya kenyataan‑kenyataan "kemerdekaan individu" dengan mengalami corak yang lebih demokratis. Dengan demikian pula perbedaan secara psikologis unsur‑unsur yang ada akan lebih menipis disebabkan hubungan satu dengan yang lainnya diwarnai dengan hubungan kekeluargaan antara senior dan yunior.
f) Adanya keseimbangan dan keharmonisan antar methode training yang dipergunakan dalam tingkat‑tingkat training; keseimbangan dan keharmonisan dalam methode training yakni adanya keselarasan tujuan HMI dan target yang akan di capai dalam suatu training. Meskipun antar jenjang/forum training memiliki perbedaan perbedaan karena tingkat kernatangan peserta sendiri.
E. Kurikulum Training/Latihan Kader
a. Materi Latihan Kader I
Materi Wajib
|
Materi Penunjang
|
Materi Lokal
|
50 %
|
30 %
|
20 %
|
1. Sejarah HMI
|
Disesuaikan dengan hasil penyusunan harapan peserta
| |
2. Konstitusi
|
1. Kohati
2. Teknik Persidangan
| |
3. Mission
|
1. Manajemen Aksi
2. Gerakan Mahasiswa Pembaharu
| |
4. KMO
| ||
5. NDP
|
1. Pengantar Filsafat
|
Dalam penentuan JP (Jam Pelajaran) tiap materi menggunakan 30 menit/JP. Chontoh : untuk materi sejarah HMI diatur dalam AD/ART alokasi waktunya 8 JP, setiap satu jam pelajaran = 30 menit berarti untuk materi sejarah alokasi waktunya 4 jam.
NILAI DASAR PERJUANGAN (NDP)
- CAK NUR VERSION -
I. DASAR-DASAR KEPERCAYAAN
Manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan. Kepercayaan itu akan melahirkan tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Sikap tanpa percaya atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Demikian pula cara berkepercayaan harus pula benar. Menganut kepercayaan yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahaya.
Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam kenyataan kita temui bentuk-bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di kalangan masyarakat. Karena bentuk- bentuk kepercayaan itu berbeda satu dengan yang lain, maka sudah tentu ada dua kemungkinan: kesemuanya itu salah atau salah satu saja diantaranya yang benar. Disamping itu masing-masing bentuk kepercayaan mungkin mengandung unsur-unsur kebenaran dan kepalsuan yang campur baur.
Sekalipun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa kepercayaan itu melahirkan nilai-nilai. Nilai-nilai itu kemudian melembaga dalam tradis-tradisi yang diwariskan turun temurun dan mengikat anggota masyarakat yang mendukungnya. Karena kecenderungan tradisi untuk tetap mempertahankan diri terhadap kemungkinan perubahan nilai-nilai, maka dalam kenyataan ikatan-ikatan tradisi sering menjadi penghambat perkembangan peradaban dan kemajuan manusia. Disinilah terdapat kontradiksi kepercayaan diperlukan sebagai sumber tatanilai guna menopang peradaban manusia, tetapi nilai-nilai itu melembaga dalam tradisi yang membeku dan mengikat, maka justru merugikan peradaban.
Oleh karena itu, pada dasarnya, guna perkembangan peradaban dan kemajuannya, manusia harus selalu bersedia meninggalkan setiap bentuk kepercayaan dan tata nilai yang tradisional, dan menganut kepercayaan yang sungguh-sungguh yang merupakan kebenaran. Maka satu-satunya sumber nilai dan pangkal nilai itu haruslah kebenaran itu sendiri. Kebenaran merupakan asal dan tujuan segala kenyataan. Kebenaran yang mutlak adalah Tuhan Allah.
Perumusan kalimat persaksian (Syahadat) Islam yang kesatu : Tiada Tuhan selain Allah mengandung gabungan antara peniadaan dan pengecualian. Perkataan "Tidak ada Tuhan" meniadakan segala bentuk kepercayaan, sedangkan perkataan "Selain Allah" memperkecualikan satu kepercayaan kepada kebenaran. Dengan peniadaan itu dimaksudkan agar manusia membebaskan dirinya dari belenggu segenap kepercayaan yang ada dengan segala akibatnya, dan dengan pengecualian itu dimaksudkan agar manusia hanya tunduk pada ukuran kebenaran dalam menetapkan dan memilih nilai - nilai, itu berarti tunduk pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa, Pencipta segala yang ada termasuk manusia. Tunduk dan pasrah itu disebut Islam.
Tuhan itu ada, dan ada secara mutlak hanyalah Tuhan. Pendekatan ke arah pengetahuan akan adanya Tuhan dapat ditempuh manusia dengan berbagai jalan, baik yang bersifat intuitif, ilmiah, historis, pengalaman dan lain-lain. Tetapi karena kemutlakan Tuhan dan kenisbian manusia, maka manusia tidak dapat menjangkau sendiri kepada pengertian akan hakekat Tuhan yang sebenarnya. Namun demi kelengkapan kepercayaan kepada Tuhan, manusia memerlukan pengetahuan secukupnya tentang Ketuhanan dan tatanilai yang bersumber kepada-Nya. Oleh sebab itu diperlukan sesuatu yang lain yang lebih tinggi namun tidak bertentangan denga insting dan indera.
Sesuatu yang diperlukan itu adalah "Wahyu" yaitu pengajaran atau pemberitahuan yang langsung dari Tuhan sendiri kepada manusia. Tetapi sebagaimana kemampuan menerima pengetahuan sampai ketingkat yang tertinggi tidak dimiliki oleh setiap orang, demikian juga wahyu tidak diberikan kepada setiap orang. Wahyu itu diberikan kepada manusia tertentu yang memenuhi syarat dan dipilih oleh Tuhan sendiri yaitu para Nabi dan Rasul atau utusan Tuhan. Dengan kewajiban para Rosul itu untuk menyampaikannya kepada seluruh ummat manusia. Para rasul dan nabi itu telah lewat dalam sejarah semenjak Adam, Nuh, Ibrahim, Musa,Isa atau Yesus anak Mariam sampai pada Muhammad SAW. Muhammad adalah Rasul penghabisan, jadi tiada Rasul lagi sesudahnya. Jadi para Nabi dan Rasul itu adalah manusia biasa dengan kelebihan bahwa mereka menerima wahyu dari Tuhan.
Wahyu Tuhan yang diberikan kepada Muhammad SAW terkumpul seluruhnya dalam kitab suci Al-Quran. Selain berarti bacaan, kata Al-Quran juga bearti "kumpulan" atau kompilasi, yaitu kompilasi dari segala keterangan. Sekalipun garis-garis besar Al-Quran merupakan suatu kompendium, yang singkat namun mengandung keterangan-keterangan tentang segala sesuatu sejak dari sekitar alam dan manusia sampai kepada hal-hal gaib yang tidak mungkin diketahui manusia dengan cara lain (16:89).
Jadi untuk memahami Ketuhanan Yang Maha Esa dan ajaran-ajaran-Nya, manusia harus berpegang kepada Al-Quran dengan terlebih dahulu mempercayai kerasulan Muhammmad SAW. Maka kalimat kesaksian yang kedua memuat esensi kedua dari kepercayaan yang harus dianut manusia, yaitu bahwa Muhammad adalah Rosul Allah.
Kemudian di dalam Al-Quran didapat keterangan lebih lanjut tentang Ketuhanan Yang maha Esa ajaran-ajaranNya yang merupakan garis besar dan jalan hidup yang mesti diikuti oleh manusia. Tentang Tuhan antara lain: surat Al-Ikhlas (112: 1-4) menerangkan secara singkat; katakanlah : "Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa. Dia itu adalah Tuhan. Tuhan tempat menaruh segala harapan. Tiada Ia berputra dan tiada pula berbapa”. Selanjutnya Ia adalah Maha Kuasa, Maha Mengetahui, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih dan Maha Sayang, Maha Pengampun dan seterusnya daripada segala sifat kesempurnaan yang selayaknya bagi Yang Maha Agung dan Maha Mulia, Tuhan seru sekalian Alam.
Juga diterangkan bahwa Tuhan adalah yang pertama dan yang penghabisan, Yang lahir dan Yang Bathin (57:3), dan "kemanapun manusia berpaling maka disanalah wajah Tuhan" (2:115). Dan "Dia itu bersama kamu kemanapun kamu berada" (57:4). Jadi Tuhan tidak terikat ruang dan waktu.
Sebagai "yang pertama dan yang penghabisan", maka sekaligus Tuhan adalah asal dan tujuan segala yang ada, termasuk tata nilai. Artinya; sebagaimana tata nilai harus bersumber kepada kebenaran dan berdasarkan kecintaan kepadaNya, Iapun sekaligus menuju kepada kebenaran dan mengarah kepada "persetujuan" atau "ridhanya". Inilah kesatuan antara asal dan tujuan hidup yang sebenarnya (Tuhan sebagai tujuan hidup yang benar, diterangkan dalam bagian yang lain).
Tuhan menciptakan alam raya ini dengan sebenarnya, dan mengaturnya dengan pasti (6:73, 25:2). Oleh karena itu alam mempunyai eksistensi yang riil dan obyektif, serta berjalan mengikuti hukum-hukum yang tetap. Dan sebagai ciptaan daripada sebaik-baiknya penciptanya, maka alam mengandung kebaikan pada dirinya dan teratur secara harmonis (23:14). Nilai ciptaan ini untuk manusia bagi keperluan perkembangan peradabannya (31:20)). Maka alam dapat dan dijadikan obyek penyelidikan guna dimengerti hukum-hukum Tuhan (sunnatullah) yang berlaku didalamnya. Kemudian manusia memanfaatkan alam sesuai dengan hukum-hukumnya sendiri (10:101).
Jadi kenyataan alam ini berbeda dengan persangkaan idealisme maupun agama Hindu yang mengatakan bahwa alam tidak mempunyai eksistensi riil dan obyektif, melainkan semua palsu atau maya atau sekedar emansipasi atau pancaran daripada dunia lain yang kongkrit, yaitu idea atau nirwana (38:27). Juga tidak seperti dikatakan filsafat Agnosticisme yang mengatakan bahwa alam tidak mungkin dimengerti manusia. Dan sekalipun filsafat materialisme mengatakan bahwa alam ini mempunyai eksistensi riil dan obyektif sehingga dapat dimengerti oleh manusia, namun filsafat itu mengatakan bahwa alam ada dengan sendirinya. Peniadaan pencipta ataupun peniadaan Tuhan adalah satu sudut daripada filsafat materialisme.
Manusia adalah puncak ciptaan dan mahluk-Nya yang tertinggi (95:4, 17:70). Sebagai mahluk tertinggi manusia dijadikan "Khalifah" atau wakil Tuhan di bumi (6:165). Manusia ditumbuhkan dari bumi dan diserahi untuk memakmurkannya (11:61). Maka urusan di dunia telah diserahkan Tuhan kepada manusia. Manusia sepenuhnya bertanggungjawab atas segala perbuatannya di dunia. Perbuatan manusia ini membentuk rentetan peristiwa yang disebut "sejarah". Dunia adalah wadah bagi sejarah, dimana manusia menjadi pemilik atau "rajanya".
Sebenarnya terdapat hukum-hukum Tuhan yang pasti (sunattullah) yang menguasai sejarah, sebagaimana adanya hukum yang menguasai alam tetapi berbeda dengan alam yang telah ada secara otomatis tunduk kepada sunatullah itu, manusia karena kesadaran dan kemampuannya untuk mengadakan pilihan untuk tidak terlalu tunduk kepada hukum-hukum kehidupannya sendiri (33:72). Ketidakpatuhan itu disebabkan karena sikap menentang atau kebodohan.
Hukum dasar alami daripada segala yang ada inilah "perubahan dan perkembangan", sebab: segala sesuatu ini adalah ciptaan Tuhan dan pengembangan olehNya dalam suatu proses yang tiada henti-hentinya (29:20). Segala sesuatu ini adalah berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan. Maka satu-satunya yang tak mengenal perubahan hanyalah Tuhan sendiri, asal dan tujuan segala sesuatu (28:88). Di dalam memenuhi tugas sejarah, manusia harus berbuat sejalan dengan arus perkembangan itu menunju kepada kebenaran. Hal itu berarti bahwa manusia harus selalu berorientasi kepada kebenaran, dan untuk itu harus mengetahui jalan menuju kebenaran itu (17:72). Dia tidak mesti selalu mewarisi begitu saja nilai-nilai tradisional yang tidak diketahuinya dengan pasti akan kebenarannya (17:26).
Oleh karena itu kehidupan yang baik adalah yang disemangati oleh iman dan diterangi oleh ilmu (58:11). Bidang iman dan pencabangannya menjadi wewenang wahyu, sedangkan bidang ilmu pengetahuan menjadi wewenang manusia untuk mengusahakan dan mengumpulkannya dalam kehidupan dunia ini. Ilmu itu meliputi tentang alam dan tentang manusia (sejarah).
Untuk memperoleh ilmu pengetahuan tentang nilai kebenaran sejauh mungkin, manusia harus melihat alam dan kehidupan ini sebagaimana adanya tanpa melekatkan padanya kualitas-kualitas yang bersifat ketuhanan. Sebab sebagaimana diterangkan dimuka, alam diciptakan dengan wujud yang nyata dan objektif sebagaimana adanya. Alam tidak menyerupai Tuhan, dan Tuhan pun untuk sebagian atau seluruhnya tidak sama dengan alam. Sikap memper-Tuhan-kan atau mensucikan (sakralisasi) haruslah ditujukan kepada Tuhan sendiri. - Tuhan Allah Yang Maha Esa (41:37).
Ini disebut "Tauhid" dan lawannya disebut "syirik" artinya mengadakan tandingan terhadap Tuhan, baik seluruhnya atau sebagian maka jelasnya bahwa syirik menghalangi perkembangan dan kemajuan peradaban kemanusiaan menuju kebenaran.
Kesudahan sejarah atau kehidupan duniawi ini ialah "hari kiamat". Kiamat merupakan permulaan bentuk kehidupan yang tidak lagi bersifat sejarah atau duniawi, yaitu kehidupan akhirat. Kiamat disebut juga "hari agama", atau yaumuddin, dimana Tuhan menjadi satu-satunya pemilik dan raja (1:4, 22:56, 40:16). Disitu tidak lagi terdapat kehidupan historis, seperti kebebasan, usaha dan tata masyarakat. Tetapi yang ada adalah pertanggunggan jawab individu manusia yang bersifat mutlak dihadapan illahi atas segala perbuatannya dahulu didalam sejarah (2:48). Selanjutnya kiamat merupakan "hari agama", maka tidak yang mungkin kita ketahui selain daripada yang diterangkan dalam wahyu. Tentang hari kiamat dan kelanjutannya / kehidupan akhirat yang non-historis manusia hanya diharuskan percaya tanpa kemungkinan mengetahui kejadian-kejadiannya (7:187).
II. PENGERTIAN-PENGERTIAN DASAR TENTANG KEMANUSIAAN
Telah disebutkan di muka, bahwa manusia adalah puncak ciptaan, merupakan mahluk yang tertinggi dan adalah wakil dari Tuhan di bumi. Sesuatu yang membuat manusia yang menjadi manusia bukan hanya beberapa sifat atau kegiatan yang ada padanya, melainkan suatu keseluruhan susunan sebagai sifat-sifat dan kegiatan-kegiatan yang khusus dimiliki manusia saja yaitu Fitrah. Fitrah membuat manusia berkeinginan suci dan secara kodrati cenderung kepada kebenaran (Hanief) (30:30). "Dlamier" atau hati nurani adalah pemancar keinginan pada kebaikan, kesucian dan kebenaran. Tujuan hidup manusia ialah kebenaran yang mutlak atau kebenaran yang terakhir, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (51:56, 3:156).
Fitrah merupakan bentuk keseluruhan tentang diri manusia yang secara asasi dan prinsipil membedakannya dari mahluk-mahluk yang lain. Dengan memenuhi hati nurani, seseorang berada dalam fitrahnya dan menjadi manusia sejati.
Kehidupan dinyatakan dalam kerja atau amal perbuatanya (19:105, 53:39). Nilai- nilai tidak dapat dikatakan hidup dan berarti sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan amaliah yang kongkrit (61:2-3). Nilai hidup manusia tergantung kepada nilai kerjanya. Di dalam dan melalui amal perbuatan yang berperikemanusiaan (fitrah sesuai dengan tuntutan hati nurani) manusia mengecap kebahagiaan, dan sebaliknya di dalam dan melalui amal perbuatan yang tidak berperikemanusiaan (jihad) ia menderita kepedihan (16:97, 4:111).
Hidup yang pernuh dan berarti ialah yang dijalani dengan sungguh-sungguh dan sempurna, yang didalamnya manusia dapat mewujudkan dirinya dengan mengembangkan kecakapan-kecakapan dan memenuhi keperluan-keperluannya. Manusia yang hidup berarti dan berharga ialah dia yang merasakan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan yang membawa perubahan kearah kemajuan-kemajuan - baik yang mengenai alam maupun masyarakat - yaitu hidup berjuang dalam arti yang seluas-luasnya (29:6).
Dia diliputi oleh semangat mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (4:125). Dia menyerap segala sesuatu yang baru dan berharga sesuai dengan perkembangan kemanusiaan dan menyatakan dalam hidup berperadaban dan berkebudayaan (39:18). Dia adalah aktif, kreatif dan kaya akan kebijaksanaan (wisdom, hikmah) (2:269). Dia berpengalaman luas, berpikir bebas, berpandangan lapang dan terbuka, bersedia mengikuti kebenaran dari manapun datangnya (6:125). Dia adalah manusia toleran dalam arti kata yang benar, penahan amarah dan pemaaf (3:134). Keutamaan itu merupakan kekayaan manusia yang menjadi milik daripada pribadi-pribadi yang senantiasa berkembang dan selamanya tumbuh kearah yang lebih baik.
Seorang manusia sejati (insan kamil) ialah yang kegiatan mental dan phisiknya merupakan suatu keseluruhan. Kerja jasmani dan kerja rohani bukanlah dua kenyataan yang terpisah. Malahan dia tidak mengenal perbedaan antara kerja dan kesenangan, kerja baginya adalah kesenggangan dan kesenangan ada dalam dan melalui kerja. Dia berkepribadian, merdeka, memiliki dirinya sendiri, menyatakan ke luar corak perorangannya dan mengembangkan kepribadian dan wataknya secara harmonis. Dia tidak mengenal perbedaan antara kehidupan individu dan kehidupan komunal, tidak membedakan antara perorangan dan sebagai anggota masyarakat. Hak dan kewajiban serta kegiatan-kegiatan untuk dirinya adalah juga sekaligus untuk sesama ummat manusia.
Baginya tidak ada pembagian dua (dichotomy) antara kegiatan-kegiatan rokhani dan jasmani, pribadi dan masyarakat, agama dan politik maupun dunia akherat. Kesemuanya dimanifestasikan dalam suatu kesatuan kerja yang tunggal pancaran niatnya, yaitu mencari kebaikan, keindahan dan kebenaran (98:5).
Dia seorang yang ikhlas, artinya seluruh amal perbuatannya benar-benar berasal dari dirinya sendiri dan merupakan pancaran langsung dari pada kecenderungannya yang suci yang murni (2:207, 76:89). Suatu pekerjaan dilakukan karena keyakinan akan nilai pekerjaan itu sendiri bagi kebaikan dan kebenaran, bukan karena hendak memperoleh tujuan lain yang nilainya lebih rendah (pamrih) (2:264). Kerja yang ikhlas mengangkat nilai kemanusiaan pelakunya dan memberinya kebahagiaan (35:10). Hal itu akan menghilangkan sebab-sebab suatu jenis pekerjaan ditinggalkan dan kerja amal akan menjadi kegiatan kemanusiaan yang paling berharga. Keikhlasan adalah kunci kebahagiaan hidup manusia, tidak ada kebahagiaan sejati tanpa keikhlasan dan keikhlasan selalu menimbulkan kebahagiaan.
Hidup fitrah ialah bekerja secara ikhlas yang memancarkan dari hati nurani yang hanief atau suci.
III. KEMERDEKAAN MANUSIA (IKHTIAR) DAN KEHARUSAN UNIVERSAL (TAKDIR)
Keikhlasan yang insani itu tidak mungkin ada tanpa kemerdekaan. Kemerdekaan dalam arti kerja sukarela tanpa paksaan yang didorong oleh kemauan yang murni, kemerdekaan dalam pengertian kebebasan memilih sehingga pekerjaan itu benar-benar dilakukan sejalan dengan hati nurani. Keikhlasan merupakan pernyataan kreatif kehidupan manusia yang berasal dari perkembangan tak terkekang daripada kemauan baiknya. Keikhlasan adalah gambaran terpenting daripada kehidupan manusia sejati. Kehidupan sekarang di dunia dan abadi (external) berupa kehidupan kelak sesudah mati di akherat. Dalam aspek pertama manusia melakukan amal perbuatan dengan baik dan buruk yang harus dipikul secara individual, dan komunal sekaligus (8:25). Sedangkan dalam aspek kedua manusia tidak lagi melakukan amal perbuatan, melainkan hanya menerima akibat baik dan buruk dari amalnya dahulu di dunia secara individual. Di akherat tidak terdapat pertanggung jawaban bersama, tapi hanya ada pertanggung jawaban perseorangan yang mutlak (2:48, 31:33). Manusia dilahirkan sebagai individu, hidup ditengah alam dan masyarakat sesamanya, kemudian menjadi individu kembali.
Jadi individualitas adalah pernyataan asasi yang pertama dan terakhir, dari pada kemanusiaan, serta letak kebenarannya daripada nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena individu adalah penanggung jawab terakhir dan mutlak daripada awal perbuatannya, maka kemerdekaan pribadi, adalah haknya yang pertama dan asasi.
Tetapi individualitas hanyalah pernyataan yang asasi dan primer saja dari pada kemanusiaan. Kenyataan lain, sekalipun bersifat sekunder, ialah bahwa individu dalam suatu hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya. Manusia hidup ditengah alam sebagai makhluk sosial hidup ditengah sesama. Dari segi ini manusia adalah bagian dari keseluruhan alam yang merupakan satu kesatuan.
Oleh karena itu kemerdekaan harus diciptakan untuk pribadi dalam kontek hidup ditengah masyarakat. Sekalipun kemerdekaan adalah esensi daripada kemanusiaan, tidak berarti bahwa manusia selalu dan dimana saja merdeka. Adanya batas-batas dari kemerdekaan adalah suatu kenyataan. Batas-batas tertentu itu dikarenakan adanya hukum-hukum yang pasti dan tetap menguasai alam - hukum yang menguasai benda-benda maupun masyarakat manusia sendiri - yang tidak tunduk dan tidak pula bergantung kepada kemauan manusia. Hukum-hukum itu mengakibatkan adanya "keharusan universal" atau "kepastian umum" dan “takdir” (57:22).
Jadi kalau kemerdekaan pribadi diwujudkan dalam kontek hidup di tengah alam dan masyarakat dimana terdapat keharusan universal yang tidak tertaklukan, maka apakah bentuk yang harus dipunyai oleh seseorang kepada dunia sekitarnya? Sudah tentu bukan hubungan penyerahan, sebab penyerahan berarti peniadaan terhadap kemerdekaan itu sendiri. Pengakuan akan adanya keharusan universal yang diartikan sebagai penyerahan kepadanya sebelum suatu usaha dilakukan berarti perbudakan. Pengakuan akan adanya kepastian umum atau takdir hanyalah pengakuan akan adanya batas-batas kemerdekaan. Sebaliknya suatu persyaratan yang positif daripada kemerdekaan adalah pengetahuan tentang adanya kemungkinan-kemungkinan kretif manusia. Yaitu tempat bagi adanya usaha yang bebas dan dinamakan "ikhtiar" artinya pilih merdeka.
Ikhtiar adalah kegiatan kemerdekaan dari individu, juga berarti kegiatan dari manusia merdeka. Ikhtiar merupakan usaha yang ditentukan sendiri dimana manusia berbuat sebagai pribadi banyak segi yang integral dan bebas; dan dimana manusia tidak diperbudak oleh suatu yang lain kecuali oleh keinginannya sendiri dan kecintaannya kepada kebaikan. Tanpa adanya kesempatan untuk berbuat atau berikhtiar, manusia menjadi tidak merdeka dan menjadi tidak bisa dimengerti untuk memberikan pertanggung jawaban pribadi dari amal perbuatannya. Kegiatan merdeka berarti perbuatan manusia yang merubah dunia dan nasibnya sendiri (13:11). Jadi sekalipun terdapat keharusan universal atau takdir manusia dengan haknya untuk berikhtiar mempunyai peranan aktif dan menentukan bagi dunia dan dirinya sendiri.
Manusia tidak dapat berbicara mengenai takdir suatu kejadian sebelum kejadian itu menjadi kenyataan. Maka percaya kepada takdir akan membawa keseimbangan jiwa tidak terlalu berputus asa karena suatu kegagalan dan tidak perlu membanggakan diri karena suatu kemunduran. Sebab segala sesuatu tidak hanya terkandung pada dirinya sendiri, melainkan juga kepada keharusan yang universal itu (57:23).
IV. KETUHANAN YANG MAHA ESA DAN PERIKEMANUSIAAN
Telah jelas bahwa hubungan yang benar antara individu manusia dengan dunia sekitarnya bukan hubungan penyerahan. Sebab penyerahan meniadakan kemerdekaan dan keikhklasan dan kemanusiaan. Tetapi jelas pula bahwa tujuan manusia hidup merdeka dengan segala kegiatannya ialah kebenaran. Oleh karena itu sekalipun tidak tunduk pada sesuatu apapun dari dunia sekelilingnya, namun manusia merdeka masih dan mesti tunduk kepada kebenaran. Karena menjadikan sesuatu sebagai tujuan adalah berarti pengabdian kepada-Nya.
Jadi kebenaran-kebenaran menjadi tujuan hidup dan apabila demikian maka sesuai dengan pembicaraan terdahulu maka tujuan hidup yang terakhir dan mutlak ialah kebenaran terakhir dan mutlak sebagai tujuan dan tempat menundukkan diri. Adakah kebenaran terakhir dan mutlak itu? Ada, sebagaimana tujuan akhir dan mutlak daripada hidup itu ada. Karena sikapnya yang terakhir (ultimate) dan mutlak maka sudah pasti kebenaran itu hanya satu secara mutlak pula.
Dalam perbendaharaan kata dan kulturiil, kita sebut kebenaran mutlak itu "Tuhan", kemudian sesuai dengan uraian Bab I, Tuhan itu menyatakan diri kepada manusia sebagai Allah (31:30). Karena kemutlakannya, Tuhan bukan saja tujuan segala kebenaran (3:60). Maka dia adalah Yang Maha Benar. Setiap pikiran yang maha benar adalah pada hakikatnya pikiran tentang Tuhan YME.
Oleh sebab itu seseorang manusia merdeka ialah yang ber-ketuhanan Yang Maha Esa. Keiklasan tiada lain adalah kegiatan yang dilakukan semata-mata bertujuan kepada Tuhan YME, yaitu kebenaran mutlak, guna memperoleh persetujuan atau "ridho" daripada-Nya. Sebagaimana kemanusiaan terjadi karena adanya kemerdekaan dan kemerdekaan ada karena adanya tujuan kepada Tuhan semata-mata. Hal itu berarti segala bentuk kegiatan hidup dilakukan hanyalah karena nilai kebenaran itu yang terkandung didalamnya guna mendapat pesetujuan atau ridho kebenaran mutlak. Dan hanya pekerjaan "karena Allah" itulah yang bakal memberikan rewarding bagi kemanusiaan (92:19-21).
Kata "iman" berarti percaya dalam hal ini percaya kepada Tuhan sebagai tujuan hidup yang mutlak dan tempat mengabdikan diri kepada-Nya. Sikap menyerahkan diri dan mengabdi kepada Tuhan itu disebut Islam. Islam menjadi nama segenap ajaran pengabdian kepada Tuhan YME (3:19). Pelakunya disebut "Muslim". Tidak lagi diperbudak oleh sesama manusia atau sesuatu yang lain dari dunia sekelilingnya, manusia muslim adalah manusia yang merdeka yang menyerahkan dan menyembahkan diri kepada Tuhan YME (33:39). Semangat tauhid (memutuskan pengabdian hanya kepada Tuhan YME) menimbulkan kesatuan tujuan hidup, kesatuan kepribadian dan kemasyarakatan. Kehidupan bertauhid tidak lagi berat sebelah, parsial dan terbatas. Manusia bertauhid adalah manusia yang sejati dan sempurna yang kesadaran akan dirinya tidak mengenal batas.
Dia adalah pribadi manusia yang sifat perorangannya adalah keseluruhan (totalitas) dunia kebudayaan dan peradaban. Dia memiliki seluruh dunia ini dalam arti kata mengambil bagian sepenuh mungkin dalam menciptakan dan menikmati kebaikan-kebaikan dan peradaban kebudayaan.
Pembagian kemanusiaan yang tidak selaras dengan dasar kesatuan kemanusiaan (human totality) itu antara lain ialah pemisahan antara eksistensi ekonomi dan moral manusia, antara kegiatan duniawi dan ukhrowi antara tugas-tugas peradaban dan agama. Demikian pula sebaliknya, anggapan bahwa manusia adalah tujuan pada dirinya membela kemanusiaan seseorang menjadi: manusia sebagai pelaku kegiatan dan manusia sebagai tujuan kegiatan. Kepribadian yang pecah berlawanan dengan kepribadian kesatuan (human totality) yang homogen dan harmonis pada dirinya sendiri: jadi berlawanan dengan kemanusiaan.
Oleh karena hakikat hidup adalah amal perbuatan atau kerja, maka nilai-nilai tidak dapat dikatakan ada sebelum menyatakan diri dalam kegiatan-kegiatan konkrit dan nyata (26:226). Kecintaan kepada Tuhan sebagai kebaikan, keindahan dan kebenaran yang mutlak dengan sendirinya memancar dalam kehidupan sehari-hari dalam hubungannya dengan alam dan masyarakat, berupa usaha-usaha yang nyata guna menciptakan sesuatu yang membawa kebaikan, keindahan dan kebenaran bagi sesama manusia "amal saleh" (harfiah: pekerjaan yang selaras dengan kemanusiaan) merupakan pancaran langsung daripada iman (lihat Qur’an: aamanu wa’amilushshaalihaat, tdk kurang dari 50 x pengulangan kombinasi kata). Jadi Ketuhanan YME memancar dalam perikemanusiaan. Sebaliknya karena kemanusiaan adalah kelanjutan kecintaan kepada kebenaran maka tidak ada perikemanusiaan tanpa Ketuhanan YME. Perikemanusiaan tanpa Ketuhanan adalah tidak sejati (24:39). Oleh karena itu semangat Ketuhanan YME dan semangat mencari ridho daripada-Nya adalah dasar peradaban yang benar dan kokoh. Dasar selain itu pasti goyah dan akhirnya membawa keruntuhan peradaban (9:109).
"Syirik" merupakan kebalikan dari tauhid, secara harafiah artinya mengadakan tandingan, dalam hal ini kepada Tuhan. Syirik adalah sifat menyerah dan menghambakan diri kepada sesuatu selain kebenaran baik kepada sesama manusia maupun alam. Karena sifatnya yang meniadakan kemerdekaan asasi, syirik merupakan kejahatan terbesar kepada kemanusiaan (31:13). Pada hakikatnya segala bentuk kejahatan dilakukan orang karena syirik (6:82). Sebab dalam melakukan kejahatan itu dia menghambakan diri kepada motif yang mendorong dilakukannya kejahatan tersebut yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Demikian pula karena syirik seseorang mengadakan pamrih atas pekerjaan yang dilakukannya (Hadist, “sesunggunya sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian adalah syirik kecil, yaitu riya - pamrih”. Rawahu Ahmad, hadist hasan). Dia bekerja bukan karena nilai pekerjaan itu sendiri dalam hubungannya dengan kebaikan, keindahan dan kebenaran, tetapi karena hendak memperoleh sesuatu yang lain.
"Musyrik" adalah pelaku daripada syirik. Seseorang yang menghambakan diri kepada sesuatu selain Tuhan baik manusia maupun alam disebut musyrik, sebab dia mengangkat sesuatu selain Tuhan menjadi setingkat dengan Tuhan (3:64). Demikian pula seseorang yang menghambakan (sebagaimana dengan tiran atau diktator) adalah musyrik, sebab dia mengangkat dirinya sendiri setingkat dengan Tuhan (28:4). Kedua perlakuan itu merupakan penentang terhadap kemanusiaan, baik bagi dirinya sendiri maupun kepada orang lain.
Maka sikap berperikemanusiaan adalah sikap yang adil, yaitu sikap menempatkan sesuatu kepada tempatnya yang wajar, seseorang yang adil (wajar) ialah yang memandang manusia. Tidak melebihkan sehingga menghambakan dirinya kepada-Nya. Dia selau menyimpan itikad baik dan lebih baik (ikhsan). Maka ketuhanan menimbulkan sikap yang adil kepada sesama manusia (16:90).
V. INDIVIDU DAN MASYARAKAT
Telah diterangkan dimuka, bahwa pusat kemanusiaan adalah masing-masing pribadinya dan bahwa kemerdekaan pribadi adalah hak asasinya yang pertama. Tidak sesuatu yang lebih berharga daripada kemerdekaan itu. Juga telah dikemukakan bahwa manusia hidup dalam suatu bentuk hubungan tertentu dengan dunia sekitarnya, sebagai mahkluk sosial, manusia tidak mungkin memenuhi kebutuhan kemanusiaannya dengan baik tanpa berada ditengah sesamanya dalam bentuk-bentuk hubungan tertentu.
Maka dalam masyarakat itulah kemerdekaan asasi diwujudkan. Justru karena adanya kemerdekaan pribadi itu maka timbul perbedaan-perbedaan antara suatu pribadi dengan lainnya (43:32). Sebenarnya perbedaan-perbedaan itu adalah untuk kebaikannya sendiri: sebab kenyataan yang penting dan prinsipil, ialah bahwa kehidupan ekonomi, sosial, dan kultural menghendaki pembagian kerja yang berbeda-beda (5:48).
Pemenuhan suatu bidang kegiatan guna kepentingan masyarakat adalah suatu keharusan, sekalipun hanya oleh sebagian anggotanya saja (92:4). Namun sejalan dengan prinsip kemanusiaan dan kemerdekaan, dalam kehidupan yang teratur tiap-tiap orang harus diberi kesempatan untuk memilih dari beberapa kemungkinan dan untuk berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya (17:84, 39:39). Peningkatan kemanusiaan tidak dapat terjadi tanpa memberikan kepada setiap orang keleluasaan untuk mengembangkan kecakapannya melalui aktifitas dan kerja yang sesuai dengan kecenderungannya dan bakatnya.
Namun inilah kontradiksi yang ada pada manusia dia adalah mahkluk yang sempurna dengan kecerdasan dan kemerdekaannya dapat berbuat baik kepada sesamanya, tetapi pada waktu yang sama ia merasakan adanya pertentangan yang konstan dan keinginan tak terbatas sebagai hawa nafsu. Hawa nafsu cenderung kearah merugikan orang lain (kejahatan) dan kejahatan dilakukan orang karena mengikuti hawa nafsu (12:53, 30:29).
Ancaman atas kemerdekaan masyarakat, dan karena itu juga berarti ancaman terhadap kemerdekaan pribadi anggotanya ialah keinginan tak terbatas atau hawa nafsu tersebut, maka selain kemerdekaan, persamaan hak antara sesama manusia adalah esensi kemanusiaan yang harus ditegakkan. Realisasi persamaan dicapai dengan membatasi kemerdekaan. Kemerdekaan tak terbatas hanya dapat dipunyai satu orang, sedangkan untuk lebih satu orang, kemerdekaan tak terbatas tidak dilaksanakan dalam waktu yang bersamaan, kemerdekaan seseorang dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Pelaksanaan kemerdekaan tak terbatas hanya berarti pemberian kemerdekaan kepada pihak yang kuat atas yang lemah (perbudakan dalam segala bentuknya), sudah tentu hak itu bertentangan dengan prinsip keadilan. Kemerdekaan dan keadilan merupakan dua nilai yang saling menopang. Sebab harga diri manusia terletak pada adanya hak bagi orang lain untuk mengembangkan kepribadiannya. Sebagai kawan hidup dengan tingkat yang sama. Anggota masyarakat harus saling menolong dalam membentuk masyarakat yang bahagia (5:2).
Sejarah dan perkembangannya bukanlah suatu yang tidak mungkin dirubah. Hubungan yang benar antara manusia dengan sejarah bukanlah penyerahan pasif. Tetapi sejarah ditentukan oleh manusia sendiri. Tanpa pengertian ini adanya azab Tuhan (akibat buruk) dan pahala (akibat baik) bagi satu amal perbuatan mustahil ditanggung manusia (99:7-8). Manusia merasakan akibat amal perbuatannya sesuai dengan ikhtiar. Dalam hidup ini (dalam sejarah) dalam hidup kemudian - sesudah sejarah (9:74, 16:30). Semakin seseorang bersungguh-sungguh dalam kekuatan yang bertanggung jawab dengan kesadaran yang terus menerus akan tujuan dalam membentuk masyarakat semakin ia mendekati tujuan (29:69).
Manusia mengenali dirinya sebagai makhluk yang nilai dan martabatnya dapat sepenuhnya dinyatakan, jika ia mempunyai kemerdekaan tidak saja mengatur hidupnya sendiri tetapi juga untuk memperbaiki dengan sesama manusia dalam lingkungan masyarakat. Dasar hidup gotong-royong ini ialah keistimewaan dan kecintaan sesama manusia dalam pengakuan akan adanya persamaan dan kehormatan bagi setiap orang (49:13, 49:10).
VI. KEADILAN SOSIAL DAN KEADILAN EKONOMI
Telah kita bicarakan tentang hubungan antara individu dengan masyarakat dimana kemerdekaan dan pembatas kemerdekaan saling bergantungan, dan dimana perbaikan kondisi masyarakat tergantung pada perencanaan manusia dan usaha-usaha bersamanya. Jika kemerdekaan dicirikan dalam bentuk yang tidak bersyarat (kemerdekaan tak terbatas) maka sudah terang bahwa setiap orang diperbolehkan mengejar dengan bebas segala keinginan pribadinya.
|
Kualitas terpenting yang harus dipunyainya, ialah rasa kemanusiaan yang tinggi sebagai pancaran kecintaan yang tak terbatas pada Tuhan. Di samping itu diperlukan kecakapan yang cukup. Kelompok orang-orang itu adalah pimpinan masyarakat; atau setidak-tidaknya mereka adalah orang-orang yang seharusnya memimpin masyarakat. Memimpin adalah menegakkan keadilan, menjaga agar setiap orang memperoleh hak asasinya, dan dalam jangka waktu yang sama menghormati kemerdekaan orang lain dan martabat kemanusiaannya sebagai manifestasi kesadarannya akan tanggung jawab sosial.
Negara adalah bentuk masyarakat yang terpenting, dan pemerintah adalah susunan masyarakat yang terkuat dan berpengaruh. Oleh sebab itu pemerintah yang pertama berkewajiban menegakkan kadilan. Maksud semula dan fundamental daripada didirikannya negara dan pemerintah ialah guna melindungi manusia yang menjadi warga negara daripada kemungkinan perusakkan terhadap kemerdekaan dan harga diri sebagai manusia sebaliknya setiap orang mengambil bagian pertanggungjawaban dalam masalah-masalah atas dasar persamaan yang diperoleh melalui demokrasi.
Pada dasarnya masyarakat dengan masing-masing pribadi yang ada didalamnya haruslah memerintah dan memimpin diri sendiri (Hadist: “kullukum raain wakullukum mas uulun ‘an raiyyatih” -Bukhari & Muslim). Oleh karena itu pemerintah haruslah merupakan kekuatan pimpinan yang lahir dari masyarakat sendiri. Pemerintah haruslah demokratis, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, menjalankan kebijaksanaan atas persetujuan rakyat berdasarkan musyawarah dan dimana keadilan dan martabat kemanusiaan tidak terganggu (42:28, 42:42). Kekuatan yang sebenarnya didalam negara ada ditangan rakyat, dan pemerintah harus bertanggung jawab pada rakyat.
Menegakkan keadilan mencakup penguasaan atas keinginan-keinginan dan kepentingan-kepentingan pribadi yang tak mengenal batas (hawa nafsu). Adalah kewajiban dari negara sendiri dan kekuatan-kekuatan sosial untuk menjunjung tinggi prinsip kegotongroyongan dan kecintaan sesama manusia. Menegakkan keadilan adalah amanat rakyat kepada pemerintah yang musti dilaksanakan (4:58). Ketaatan rakyat kepada pemerintah yang adil merupakan ketaatan kepada diri sendiri yang wajib dilaksanakan. Didasari oleh sikap hidup yang benar, ketaatan kapada pemerintah termasuk dalam lingkungan ketaatan kepada Tuhan (Kebenaran Mutlak) dan Rasulnya (pengajar tentang Kebenaran) (4:59). Pemerintah yang benar dan harus ditaati ialah mengabdi kepada kemanusiaan, kebenaran dan akhirnya kepada Tuhan YME (5:45).
Perwujudan menegakkan keadilan yang terpenting dan berpengaruh ialah menegakkan keadilan di bidang ekonomi atau pembagian kekeyaan diantara anggota masyarakat. Keadilan menuntut agar setiap orang dapat bagian yang wajar dari kekayaan atau rejeki. Dalam masyarakat yang tidak mengenal batas-batas individual, sejarah merupakan perjuangan dialektis yang berjalan tanpa kendali dari pertentangan-pertentangan golongan yang didorong oleh ketidakserasian antara pertumbuhan kekuatan produksi disatu pihak dan pengumpulan kekayaan oleh golongan-golongan kecil dengan hak-hak istimewa dilain pihak (57:20). Karena kemerdekaan tak terbatas mendorong timbulnya jurang-jurang pemisah antara kekayaan dan kemiskinan yang semakin dalam. Proses selanjutnya - yaitu bila sudah mencapai batas maksimal - pertentangan golongan itu akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial dan membinasakan kemanusiaan dan peradabannya (17:16).
Dalam masyarakat yang tidak adil, kekeyaan dan kemiskinan akan terjadi dalam kualitas dan proporsi yang tidak wajar sekalipun realitas selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan antara manusia dalam kemampuan fisik maupun mental namun dalam kemiskinan dalam masyarakat dengan pemerintah yang tidak menegakkan keadilan adalah keadilan yang merupakan perwujudan dari kezaliman. Orang-orang kaya menjadi pelaku daripada kezaliman sedangkan orang-orang miskin dijadikan sasaran atau korbannya. Oleh karena itu sebagai yang menjadi sasaran kezaliman, orang-orang miskin berada dipihak yang benar. Pertentangan antara kaum miskin menjadi pertentangan antara kaum yang menjalankan kezaliman dan yang dizalimi. Dikarenakan kebenaran pasti menang terhadap kebhatilan, maka pertentangan itu disudahi dengan kemenangan tak terhindar bagi kaum miskin, kemudian mereka memegang tampuk pimpinan dalam masyarakat (4:160-161, 26:182-183, 2:279, 28:5).
Kejahatan di bidang ekonomi yang menyeluruh adalah penindasan oleh kapitalisme. Dengan kapitalisme dengan mudah seseorang dapat memeras orang-orang yang berjuang mempertahankan hidupnya karena kemiskinan, kemudian merampas hak-haknya secara tidak sah, berkat kemampuannya untuk memaksakan persyaratan kerjanya dan hidup kepada mereka. Oleh karena itu menegakkan keadilan mencakup pemberantasan kapitalisme dan segenap usaha akumulasi kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat (2:278-279). Sesudah syirik, kejahatan terbesar kepada kemanusiaan adalah penumpukan harta kekayaan beserta penggunaanya yang tidak benar, menyimpang dari kepentingan umum, tidak mengikuti jalan Tuhan (104:1-3). Maka menegakkan keadilan inilah membimbing manusia ke arah pelaksanaan tata masyarakat yang akan memberikan kepada setiap orang kesempatan yang sama untuk mengatur hidupnya secara bebas dan terhormat (amar ma'ruf) dan pertentangan terus menerus terhadap segala bentuk penindasan kepada manusia kepada kebenaran asasinya dan rasa kemanusiaan (nahi munkar). Dengan perkataan lain harus diadakan restriksi-restriksi atau cara-cara memperoleh, mengumpulkan dan menggunakan kekayaan itu. Cara yang tidak bertentangan dengan kamanusiaan diperbolehkan (yang ma'ruf dihalalkan) sedangkan cara yang bertentangan dengan kemanusiaan dilarang (yang munkar diharamkan) (3:110).
Pembagian ekonomi secara tidak benar itu hanya ada dalam suatu masyarakat yang tidak menjalankan prisip Ketuhanan YME, dalam hal ini pengakuan berketuhanan YME tetapi tidak melaksanakannya sama nilainya dengan tidak berketuhanan sama sekali. Sebab nilai-nilai yang tidak dapat dikatakan hidup sebelum menyatakan diri dalam amal perbuatan yang nyata (61:2-3).
Dalam suatu masyarakat yang tidak menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat tunduk dan menyerahkan diri, manusia dapat diperbudaknya antara lain oleh harta benda. Tidak lagi seorang pekerja menguasai hasil pekerjaanya, tetapi justru dikuasai oleh hasil pekerjaan itu. Produksi seorang buruh memperbesar kapital majikan dan kapital itu selanjutnya lebih memperbudak buruh. Demikian pula terjadi pada majikan bukan ia menguasai kapital tetapi kapital itulah yang menguasainya. Kapital atau kekayaan telah menggenggam dan memberikan sifat-sifat tertentu seperti keserakahan, ketamakan dan kebengisan.
Oleh karena itu menegakkan keadilan bukan saja dengan amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana diterapkan dimuka, tetapi juga melalui pendidikan yang intensif terhadap pribadi-pribadi agar tetap mencintai kebenaran dan menyadari secara mendalam akan andanya tuhan. Sembahyang merupakan pendidikan yang kontinyu, sebagai bentuk formil peringatan kepada tuhan. Sembahyang yang benar akan lebih efektif dalam meluruskan dan membetulkan garis hidup manusia. Sebagaimana ia mencegah kekejian dan kemungkaran (29:45). Jadi sembahyang merupakan penopang hidup yang benar (Hadist: “sembahyang adalah tiang agama. Barangsiapa mengerjakannya berarti menegakkan agama. Barangsiapa meninggalkannya berarti merobohkan agama” -Baihaqi). Sembahyang menyelesaikan masalah - masalah kehidupan, termasuk pemenuhan kebutuhan yang ada secara instrinsik pada rohani manusia yang mendalam, yaitu kebutuhan sepiritual berupa pengabdian yang bersifat mutlak (31:30). Pengabdian yang tidak tersalurkan secara benar kepada tuhan YME tentu tersalurkan kearah sesuatu yang lain. Dan membahayakan kemanusiaan. Dalam hubungan itu telah terdahulu keterangan tentang syirik yang merupakan kejahatan fundamental terhadap kemanusiaan.
Dalam masyarakat yang adil mungkin masih terdapat pembagian manusia menjadi golongan kaya dan miskin. Tetapi hal itu terjadi dalam batas - batas kewajaran dan kemanusian dengan pertautan kekayaan dan kemiskinan yang mendekat. Hal itu sejalan dengan dibenarkannya pemilikan pribadi (private ownership) atas harta kekayaan dan adanya perbedaan - perbedaan tak terhindar dari pada kemampuan - kemampuan pribadi, fisik maupun mental (30:37).
Walaupun demikian usaha - usaha kearah perbaikan dalam pembagian rejeki ke arah yang merata tetap harus dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini zakat adalah penyelesaian terakhir masalah perbedaan kaya dan miskin itu. Zakat dipungut dari orang - orang kaya dalam jumlah presentase tertentu untuk dibagikan kepada orang miskin (9:60). Zakat dikenakan hanya atas harta yang diperoleh secara benar, sah, dan halal saja. Sedang harta kekayaan yang haram tidak dikenakan zakat tetapi harus dijadikan milik umum guna manfaat bagi rakyat dengan jalan penyitaan oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebelum penarikan zakat dilakukan terlebih dahulu harus dibentuk suatu masyarakat yang adil berdasarkan ketuhanan Tuhan Yang Maha Esa, dimana tidak lagi didapati cara memperoleh kekayaan secara haram, dimana penindasan atas manusia oleh manusia dihapuskan (2:188).
Sebagaimana ada ketetapan tentang bagaimana harta kekayaan itu diperoleh, juga ditetapkan bagaimana mempergunakan harta kekayaan itu. Pemilikan pribadi dibenarkan hanya jika hanya digunakan hak itu tidak bertentangan, pemilikan pribadi menjadi batal dan pemerintah berhak mengajukan konfiskasi.
Seorang dibenarkan mempergunakan harta kekayaan dalam batas - batas tertentu, yaitu dalam batas tidak kurang tetapi juga tidak melebihi rata - rata penggunaan dalam masyarakat (25:67). Penggunaan yang berlebihan (tabzier atau israf) bertentangan dengan perikemanusiaan (17:26-27). Kemewahan selalu menjadi provokasi terhadap pertentangan golongan dalam masyarakat membuat akibat destruktif (17:16). Sebaliknya penggunaan kurang dari rata-rata masyarakat (taqti) merusakkan diri sendiri dalam masyarakat disebabkan membekunya sebagian dari kekayaan umum yang dapat digunakan untuk manfaat bersama (47:38).
Hal itu semuanya merupakan kebenaran karena pada hakekatnya seluruh harta kekayaan ini adalah milik Tuhan (10:55). Manusia seluruhnya diberi hak yang sama atas kekayaan itu dan harus diberikan bagian yang wajar dari padanya (7:10).
Pemilikan oleh seseorang (secara benar) hanya bersifat relatif sebagai mana amanat dari Tuhan. Penggunaan harta itu sendiri harus sejalan dengan yang dikehendaki tuhan, untuk kepentingan umum (57:7). Maka kalau terjadi kemiskinan, orang - orang miskin diberi hak atas sebagian harta orang - orang kaya, terutama yang masih dekat dalam hubungan keluarga (70:24-25). Adalah kewajiban negara dan masyarakat untuk melindungi kehidupan keluarga dan memberinya bantuan dan dorongan. Negara yang adil menciptakan persyaratan hidup yang wajar sebagaimana yang diperlukan oleh pribadi-pribadi agar diandan keluarganya dapat mengatur hidupnya secara terhormat sesuai dengan kainginan-keinginannya untuk dapat menerima tanggungjawab atas kegiatan-kegiatnnya. Dalam prakteknya, hal itu berarti bahwa pemerintah harus membuka jalan yang mudah dan kesempatan yang sama kearah pendidikan, kecakapan yang wajar kemerdekaan beribadah sepenuhnya dan pembagian kekayaan bangsa yang pantas.
VII. KEMANUSIAAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dari seluruh uraian yang telah di kemukakan, dapatlah disimpulkan dengan pasti bahwa inti dari pada kemanusiaan yang suci adalah Iman dan kerja kemanusiaan atau Amal Saleh (95:6).
Iman dalam pengertian kepercayaan akan adanya kebenaran mutlak yaitu Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikanya satu-satunya tujuan hidup dan tempat pengabdian diri yang terakhir dan mutlak. Sikap itu menimbulkan kecintaan tak terbatas pada kebenaran, kesucian dan kebaikan yang menyatakan dirinya dalam sikap pri kemanusiaan. Sikap pri kemanusiaan menghasilkan amal saleh, artinya amal yang bersesuaian dengan dan meningkatkan kemanusiaan. Sebaik-baiknya manusia ialah yang berguna untuk sesamanya. Tapi bagaimana hal itu harus dilakukan manusia?.
Sebagaimana setiap perjalanan kearah suatu tujuan ialah gerakan kedepan demikian pula perjalanan ummat manusia atau sejarah adalah gerakan maju kedepan. Maka semua nilai dalam kehidupan relatif adanya berlaku untuk suatu tempat dan suatu waktu tertentu. Demikianlah segala sesuatu berubah, kecuali tujuan akhir dari segala yang ada yaitu kebenaran mutlak (Tuhan) (28:88). Jadi semua nilai yang benar adalah bersumber atau dijabarkan dari ketentuan-ketentuan hukum-hukum Tuhan (6:57).
Oleh karena itu manusia berikhtiar dan merdeka, ialah yang bergerak. Gerakan itu tidak lain dari pada gerak maju kedepan (progresif). Dia adalah dinamis, tidak statis. Dia bukanlah seorang tradisional, apalagi reaksioner (17:36). Dia menghendaki perubahan terus menerus sejalan dengan arah menuju kebenaran mutlak. Dia senantiasa mencarai kebenaran-kebenaran selama perjalanan hidupnya. Kebenaran-kebenaran itu menyatakan dirinya dan ditemukan didalam alam dari sejarah umat manusia.
Ilmu pengetahuan adalah alat manusia untuk mencari dan menemukan kebenaran-kebenaran dalam hidupnya, sekalipun relatif namun kebenaran-kebenaran merupakan tonggak sejarah yang mesti dilalui dalam perjalanan sejarah menuju kebenaran mutlak. Dan keyakinan adalah kebenaran mutlak itu sendiri pada suatu saat dapat dicapai oleh manusia, yaitu ketika mereka telah memahami benar seluruh alam dan sejarahnya sendiri (41:53).
Jadi ilmu pengetahuan adalah persyaratan dari amal soleh. Hanya mereka yang dibimbing oleh ilmu pengetahuan dapat berjalan diatas kebenaran-kebenaran, yang menyampaikan kepada kepatuhan tanpa reserve kepada Tuhan Yang Maha Esa (35:28). Dengan iman dan kebenaran ilmu pengetahuan manusia mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (58:11).
Ilmu pengetahuan ialah pengertian yang dipunyai oleh manusia secara benar tentang dunia sekitarnya dan dirinya sendiri. Hubungan yang benar antara manusia dan alam sekelilingnya ialah hubungan dan pengarahan. Manusia harus menguasai alam dan masyarakat guna dapat mengarahkanya kepada yang lebih baik. Penguasaan dan kemudian pengarahan itu tidak mungkin dilaksanakan tanpa pengetahuan tentang hukum-hukumnya agar dapat menguasai dan menggunakanya bagi kemanusiaan. Sebab alam tersedia bagi ummat manusia bagi kepentingan pertumbuhan kemanusiaan. Hal itu tidak dapat dilakukan kecuali mengerahkan kemampuan intelektualitas atau rasio (45:13).
Demikian pula manusia harus memahami sejarah dengan hukum-hukum yang tetap (3:137). Hukum sejarah yang tetap (sunatullah untuk sejarah) yaitu garis besarnya ialah bahwa manusia akan menemui kejayaan jika setia kepada kemanusiaan fitrinya dan menemui kehancuran jika menyimpang daripadanya dengan menuruti hawa nafsu (91:9-10).
Tetapi cara-cara perbaikan hidup sehingga terus-menerus maju kearah yang lebih baik sesuai dengan fitrah adalah masalah pengalaman. Pengalaman ini harus ditarik dari masa lampau, untuk dapat mengerti masa sekarang dan memperhitungkan masa yang akan datang (12:111). Menguasai dan mengarahkan masyarakat ialah mengganti kaidah-kaidah umumnya dan membimbingnya kearah kemajuan dan kebaikan.
VIII. KESIMPULAN DAN PENUTUP
Dari seluruh uraian yang telah lalu dapatlah diambil kesimpulan secara garis besar sbb:
1. Hidup yang benar dimulai dengan percaya atau iman kepada Tuhan. Tuhan YME dan keinginan mendekat serta kecintaan kepada-Nya, yaitu takwa. Iman dan takwa bukanlah nilai yang statis dan abstrak. Nilai-nilai itu mamancar dengan sendirinya dalam bentuk kerja nyata bagi kemanusiaan dan amal saleh. Iman tidak memberi arti apa-apa bagi manusia jika tidak disertai dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh untuk menegakkan perikehidupan yang benar dalam peradaban dan berbudaya.
2. Iman dan takwa dipelihara dan diperkuat dengan melakukan ibadah atau pengabdian formil kepada Tuhan. Ibadah mendidik individu agar tetap ingat dan taat kepada Tuhan dan berpegang tuguh kepada kebenaran sebagai mana dikehendaki oleh hati nurani yang hanif. Segala sesuatu yang menyangkut bentuk dan cara beribadah menjadi wewenang penuh dari pada agama tanpa adanya hak manusia untuk mencampurinya. Ibadat yang terus menerus kepada Tuhan menyadarkan manusia akan kedudukannya di tengah alam dan masyarakat dan sesamanya. Ia tidak melebihkan diri sehingga mengarah kepada kedudukan Tuhan dengan merugikan kemanusiaan orang lain, dan tidak mengurangi kehormatan dirinya sebagai mahluk tertinggi dengan akibat perbudakan diri kepada alam maupun orang lain Dengan ibadah manusia dididik untuk memilki kemerdekaannya, kemanusiaannya dan dirinya sendiri, sebab ia telah berbuat ikhlas, yaitu pemurniaan pengabdian kepada Kebenaran semata..
3. Kerja kemanusiaan atau amal saleh mengambil bentuknya yang utama dalam usaha yanag sungguh - sungguh secara essensial menyangkut kepentingan manusia secara keseluruhan, baik dalam ukuran ruang maupun waktu. Yaitu menegakkan keadilan dalam masyarakat sehingga setiap orang memperoleh harga diri dan martabatnya sebagai manusia. Hal itu berarti usaha - usaha yang terus menerus harus dilakukan guna mengarahkan masyarakat kepada nilai - nilai yang baik, lebih maju dan lebih insani usaha itu ialah "amar ma'ruf”, disamping usaha lain untuk mencegah segala bentuk kejahatan dan kemerosotan nilai - nilai kemanusiaan atau nahi mungkar. Selanjutnya bentuk kerja kemanusiaan yang lebih nyata ialah pembelaan kaum lemah, kaum tertindas dan kaum miskin pada umumnya serta usaha - usaha kearah penungkatan nasib dan taraf hidup mereka yang wajar dan layak sebagai manusia.
4. Kesadaran dan rasa tanggung jawab yang besar kepada kemanusiaan melahirkan jihad, yaitu sikap berjuang. Berjuang itu dilakukan dan ditanggung bersama oleh manusia dalam bentuk gotong royong atas dasar kemanusiaan dan kecintaan kepada Tuhan. Perjuangan menegakkan kebenaran dan keadilan menuntut ketabahan, kesabaran, dan pengorbanan. Dan dengan jalan itulah kebahagiaan dapat diwujudkan dalam masyarakat manusia. Oleh sebab itu persyaratan bagi berhasilnya perjuangan adalah adanya barisan yang merupakan bangunan yang kokoh kuat. Mereka terikat satu sama lain oleh persaudaraan dan solidaritas yang tinggi dan oleh sikap yang tegas kepada musuh - musuh dari kemanusiaan. Tetapi justru demi kemanusiaan mereka adalah manusia yang toleran. Sekalipun mengikuti jalan yang benar, mereka tidak memaksakan kepada orang lain atau golongan lain.
5. Kerja kemanusiaan atau amal saleh itu merupakan proses perkembangan yang permanen. Perjuang kemanusiaan berusaha mengarah kepada yang lebih baik, lebih benar. Oleh sebab itu, manusia harus mengetahui arah yang benar dari pada perkembangan peradaban disegala bidang. Dengan perkataan lain, manusia harus mendalami dan selalu mempergunakan ilmu pengetahuan. Kerja manusia dan kerja kemanusiaan tanpa ilmu tidak akan mencapai tujuannya, sebaliknya ilmu tanpa rasa kemanusiaan tidak akan membawa kebahagiaan bahkan mengahancurkan peradaban. Ilmu pengetahuan adalah karunia Tuhan yang besar artinya bagi manusia. Mendalami ilmu pengetahun harus didasari oleh sikap terbuka. Mampu mengungkapkan perkembangan pemikiran tentang kehidupan berperadaban dan berbudaya. Kemudian mengambil dan mengamalkan diantaranya yang terbaik.
Dengan demikian, tugas hidup manusia menjadi sangat sederhana, yaitu beriman, berilmu dan beramal.
Billaahi Taufiq Wal Hidayah,
Wassalaamuálaikum War, Wab.
0 komentar:
Posting Komentar